Kamis, 06 November 2008

Pembelajaran Bahasa Indonesia


Sebuah Alternatif untuk Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Bahasa Indonesia

Y. Niken Sasanti

Pembelajaran Bahasa Indonesia Gagal?
Ada asumsi yang megatakan bahwa pembelajaran bahasa (Indonesia) selama ini dianggap gagal karena (1) lebih mementingkan teori kebahasaan dan kesusastraan daripada praktik berbahasa, (2) evaluasi mementingkan aspek kognitif, (3) strategi pembelajaran cenderung monoton, dan (4) bahan pembelajaran cenderung seragam dan bersumber pada satu buku teks. Tentunya kita tidak boleh percaya begitu saja pada asumsi itu sebelum dibuktikan kebenarannya melalui penelitian. Jika pembelajaran bahasa Indonesia dkatakan gagal, apa indikator kegagalannya? Demikian pula apa yang menjadi indikator keberhasilan suatu pembelajaran bahasa?
Indikator keberhasilan atau kegagalan pembelajaran bahasa untuk tiap-tiap jenjang pendidikan tentunya berbeda-beda. Untuk siswa Sekolah Dasar, misalnya, akan dikatakan berhasil dalam pembelajaran bahasa apabila seluruh kompetensi dasar yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah dapat dicapai. Selain itu, siswa SD juga harus mencapai standar kompetensi lulusan (SKL) yang telah ditetapkan. Demikian pula siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dikatakan berhasil dalam pembelajaran bahasa apabila siswa tersebut dapat mencapai seluruh kompetensi dasar maupun SKL yang telah ditetapkan pada masing-masing kurikulum jenjang pendidikan tersebut. Di Perguruan Tinggi, pembelajaran bahasa dikatakan berhasil apabila lulusan mampu mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Selain itu tolok ukur keberhasilan pembelajaran di Perguruan Tinggi juga dapat dilihat dari kemampuan lulusan membuat karya tulis ilmiah, berbicara dalam forum ilmiah, maupun mempraktikkan kegiatan kebahasaan sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Apakah dengan melihat indikator keberhasilan dan kegagalan pembelajaran bahasa itu lantas kita dapat berasumsi bahwa pembelajaran bahasa selama ini dikatakan gagal? Yang jelas, belum ada hasil penelitian yang dipublikasikan secara luas.

Perubahan Kurikulum dan Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Karena ada asumsi bahwa pembelajaran pada umumnya dan pembelajaran bahasa pada khususnya gagal, maka pemerintah menyikapinya dengan mengadakan perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum ini dimaksudkan agar orientasi pembelajaran juga berubah sehingga ada peningkatan kualitas pembelajaran. Selain itu, kurikulum diubah untuk memenuhi tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selama ini kita telah mengenal beberapa kurikulum yang sudah pernah diberlakukan di Indonesia, yaitu (1) Kurikulum 1975, (2) Kurikulum 1984, (3) Kurikulum 1994, dan (4) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, dan yang sekarang ini sedang berlaku yaitu (5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 masih berorientasi pada materi, sedangkan Kurikulum 2004 dan KTSP berorientasi pada pencapaian kompetensi. Dalam bidang pembelajaran bahasa, pada Kurikulum 1975 dan 1984 materi disusun secara terpisah-pisah. Penyampaiannya juga terpisah-pisah. Misalnya tata bahasa diajarkan sendiri, kosa kata juga diajarkan sendiri, sastra juga diajarkan sendiri. Dalam Kurikulum 1994 pembelajaran bahasa dilakukan secara integratif berpayung pada tema tertentu, namun masih structural oriented.
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), materi pembelajaran bukanlah yang utama. Materi pembelajaran digunakan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Maka, yang penting bukan banyaknya materi pembelajaran, melainkan tingkat kedalaman suatu materi pembelajaran. Dalam pembelajaran bahasa, kompetensi yang harus dikuasai siswa diklasifikasikan menjadi empat macam sesuai dengan empat macam keterampilan berbahasa, yaitu (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, sedangkan pembelajaran sastra inklusif pada keempat keterampilan berbahasa tersebut.
Sejalan dengan perubahan kurikulum, di sisi lain muncul pemikiran-pemikiran baru mengenai pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, maupun model-model pembelajaran. Selama ini, pendekatan komunikatif dipandang cukup efektif digunakan dalam pembelajaran bahasa. Selain itu, dewasa ini juga muncul bermacam-macam pendekatan yang berbasis pada konstruktivisme. Pendekatan yang berbasis konstruktivisme antara lain (1) pendekatan kontekstual, (2) pendidikan keterampilan hidup (life skill), (3) pendekatan CBSA, (4) pendekatan inkuiri, (5) pendekatan problem solving, (6) pendekatan proses, (7) pendekatan kuantum, (8) pengajaran autentik, (9) pendekatan kooperatif, dan (10) pendekatan berbasis kerja. Pendekatan konstruktivisme yang mendasari pendekatan-pendekatan di atas dipandang dapat digunakan sebagai landasan pemikiran untuk membaharui praktik pembelajaran secara menyeluruh.
Karakteristik pendekatan konstruktivisme dapat dikemukakan sebagai berikut (lihat Suparno, 1997). Siswa adalah subjek belajar. Siswalah yang menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar. Tugas guru adalah menyelenggarakan pembelajaran bagi siswa. Guru membantu siswa agar dapat belajar secara aktif dan terarah. Tujuan belajar adalah agar siswa berkembang kompetensinya, yaitu menguasai pengetahuan dan keterampilan sebagai jalan untuk mengembangkan pribadinya secara utuh sebagaimana disebutkan dalam empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do, learning to live with others, dan learning to be). Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan aktif yang dilakukan oleh siswa. Kegiatan belajar bukanlah kegiatan mentransfer pengetahuan yang dilakukan guru. Bahan ajar hanyalah merupakan sarana untuk mencapai kompetensi. Bahan ajar harus dipelajari secara terfokus-integratif. Guru bukanlah sumber belajar satu-satunya. Sumber belajar adalah lingkungan yang dapat menjadi unsur kegiatan belajar (guru, siswa lain, pengalaman, buku, media elektronik, alam, masyarakat, dan sebagainya). Evaluasi pembelajaran tidak hanya diukur dari hasil ujian, melainkan juga dari proses belajar. Kegiatan pembelajaran diikuti dengan refleksi guru maupun siswa.

Model Pembelajaran Apa yang Paling Baik?
Munculnya pendekatan baru diikuti pula dengan munculnya model-model pembelajaran bahasa yang sesuai dengan pendekatan tersebut. Lalu model pembelajaran yang mana yang paling sesuai untuk pembelajaran bahasa Indonesia? Karena pembelajaran bahasa bertujuan untuk mengembangkan kompetensi kebahasaan, maka model pembelajaran yang dipilih ditentukan berdasarkan kompetensi yang hendak dicapai. Sebagai contoh, bila kompetensi dasar yang hendak dicapai adalah siswa dapat menulis puisi berdasarkan pengalamannya, maka lebih cocok digunakan model pembelajaran menulis yang berdasarkan pengalaman (experience based learning). Dalam pembelajaran ini tidak cocok digunakan cooperative based learning, misalnya, walaupun model pembelajaran ini bagus juga. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran menulis puisi ditujukan untuk lebih mengembangkan kemampuan individual siswa. Model pembelajaran cooperative based learning lebih cocok digunakan untuk pembelajaran drama, misalnya, karena dalam pembelajaran drama ada pengembangan aspek kerja sama. Dengan demikian tidak dapat dikatakan model pembelajaran yang satu lebih bagus dibanding model pembelajaran yang lain. Hal ini tergantung pada kompetensi yang hendak dicapai.

Sikap, Posisi, dan Peran Guru
Bagaimana sikap, posisi, dan peran guru agar ada peningkatan kualitas pembelajaran bahasa? Guru diharapkan mau memahami, merespon, dan mengimplementasikan perubahan pendekatan dalam pendidikan secara umum maupun dalam pembelajaran bahasa pada khususnya. Misalnya, pada dasawarsa ini diperkenalkan berbagai macam pendekatan baru, antara lain pendekatan komunikatif, pendekatan konstruktivistik, teori multiple intelegence, pendekatan integratif, dan sebagainya. Terhadap pendekatan-pendekatan tersebut, guru berusaha memahami kemudian memilih kemungkinan-kemungkinan pendekatan yang dapat membaharui praktik pembelajarannya di kelas.
Berdasarkan sikap di atas, guru memiliki posisi strategis dalam pembaharuan proses pembelajaran. Hal ini disebabkan, gurulah yang merancang dan mengelola praktik pembelajaran bagi siswanya, mulai dari tahap persiapan pembelajaran, tahap pelaksanaan pembelajaran, tahap evaluasi pembelajaran, maupun tahap refleksi pembelajaran. Dengan demikian gurulah yang menentukan berkualitas atau tidaknya hasil belajar siswa.
Dalam posisinya sebagai perancang dan pelaksana praktik pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator (yang memfasilitasi) proses pembelajaran yang dilakukan siswa. Peran fasilitator menunjukkan bahwa guru berkewajiban menciptakan kondisi yang mendukung siswanya agar aktif belajar. Dalam hal ini siswalah yang aktif dalam belajar. Siswalah yang menjadi pusat belajar (learner centre). Guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran haruslah memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Contohnya, agar siswa memiliki kompetensi dapat membuat surat undangan, siswa harus belajar melalui pengalamannya sendiri membuat surat undangan. Tugas guru adalah menjelaskan seluk beluk surat undangan dan memberikan contoh serta mengoreksi pekerjaan siswa.

Apa yang Bisa Dilakukan Guru?
Lalu, apa yang harus dilakukan guru agar tercapai keberhasilan pembelajaran bahasa? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan seorang guru. Pertama, guru tetap mengikuti perkembangan pendekatan dalam pendidikan. Kedua, guru merespon secara positif kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Ketiga, guru selalu membahrui proses pembelajarannya di kelas sesuai dengan perkembangan, baik dalam perancangan maupun pelaksanaan pembelajaran. Keempat, guru tidak boleh stagnan, melainkan perlu memiliki sikap kritis dalam merespon perkembangan dalam dunia pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Delors, Jacques, et.all. 1998. Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCOS
Publishing.

Sarkim, T. 2005. “Pendidikan Calon Guru Menghadapi Tantangan Pembaharuan Metode
Pengajaran”. Dalam Paul Suparno dan V. Triprihatmini (Eds.). Pendidikan
Manusia Indonesia yang Etis dan Terbuka. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Sanata Dharma. Halaman 107-126.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar: