Kamis, 06 November 2008

Kepada Cium

Kepada Cium
Manekarenda di Sekibar Celana

Judul : Kepada Cium
Penulis : Joko Pinurbo
Jenis : Kumpulan Puisi
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Kumpulan puisi Kepada Cium karya Joko Pinurbo merupakan ‘bunga renda’ dari kumpulan puisi yang telah terbit sebelumnya, yaitu Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Pacar Senja - Seratus Puisi Pilihan. Disebut bunga renda karena mencerminkan sulaman kata yang menelisik di pori-pori celana. Tanpa harus disebutkan dalam angka matematis analitis, seperti puisi-puisi sebelumnya, sangat banyak kata ‘celana’ muncul dalam kumpulan puisi ini. Ikon celana telanjur melekat atau memang dimaksudkan sebagai kibaran kepenyairan Joko Pinurbo. Sepertinya Joko Pinurbo memang nyaman berada di balik celananya untuk mempertontonkan benang merah kepenyairannya yang sederhana dan menjelata.
Buku yang berisi puisi-puisi Joko Pinurbo yang ditulis sepanjang tahun 2005-2006 ini akan membawa pembaca dan peminat sastra untuk dapat mencamili puisi-puisi karya penyair ini secara lebih mesra. Pernik-pernik yang dituturkan antara lain penderitaan manusia (“Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?”, “Dalam Demam”, “Sehabis Sakit”), bencana alam (“Aceh, 26 Desember 2004”), kesepian manusia (“Malam Insomnia”), hubungan manusia dengan Tuhan (“Winternachten, 2002”, “Sehabis Sembahyang”, “Magrib”, “Kepada Cium”, “Di Perjamuan”), masalah sosial (“Himne Becak”, “Malam Suradal”, “Kepada Uang”, “Harga Duit Turun Lagi”), dan cinta (“Cinta Telah Tiba”). Bila kumpulan puisi ini diibaratkan sebagai sebuah rumah yang memiliki banyak jendela dengan pemandangan yang berbeda, di dalamnya tetap ada sebuah ruang utama, yaitu sebuah ruang yang berisi kerinduan manusia untuk berhubungan mesra dengan penciptanya.
Penyair kelahiran Sukabumi ini sejak awal telah memiliki ciri khas, yaitu kesederhanaannya dalam memilih kata, tema, dan kesederhanaannya dalam bertutur seperti dalam puisi “Malam Insomnia” berikut ini.

Malam Insomnia
Tenang saja, tak usah khawatir.
Aku berani pergi sendiri ke kamar mandi
Aku akan baik-baik saja.
Tak ada hantu yang perlu ditakuti.
Oh tidak, aku tidak akan bunuh diri
di kamar mandi. Aku akan segera kembali.

Di tempatku terbaring sayup terdengar
suara bocah sedang menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian hening. Setelah itu ia tertawa nyaring.

Bu, aku sudah selesai mandi.
Di kamar mandi aku sempat berjumpa
Dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya.

Bagus. Nyalakan matamu.
Segera tuliskan kata-katamu
dengan sisa-sisa sakitmu
sebelum aku goyah, berderak, rebah
karena tak sanggup lagi menampung
gelisah tidurmu yang semakin parah.

Baiklah. Doakan menang ya, Bu. Aku akan duel
Dengan harimau merah yang sering merusak tidurku.

Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran si ‘aku lirik’ diungkapkan dengan gaya paradoks. Seorang aku lirik yang berani pergi sendiri ke kamar mandi karena tak ada hantu yang perlu ditakuti. Di lain pihak ada suara bocah yang menjerit-jerit ketakutan ...hening... lalu tertawa nyaring. Kesepian yang menyergap di tengah malam insomnia dilukiskan sebagai sesosok hantu (gembong sepi nan gondrong rambutnya)
Membaca puisinya seperti mendengarkan orang bercerita, bertutur, berbicara tentang hal-hal yang amat biasa, namun pada akhirnya membuat kita terhenyak, tersadar tentang sesuatu entah itu berupa keindahan, kepahitan, kesyahduan hubungan manusia dengan Yang Mahasempurna, entah itu perasaan campur aduk segala rasa yang biasanya membuat kita merinding seperti dalam puisi “Kepada Cium” berikut ini.
Kepada Cium

Seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,

seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,

malam ini aku mau minum di bibirmu.

Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,

seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.

Bila kita membaca larik /seperti anak rusa menemukan sarang air/ , segera kita diingatkan pada teks yang mirip, yaitu seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, yang terdapat pada Alkitab (Mazmur 42 ayat 2). Luka lambung pun mengingatkan kita kepada luka Kristus. Nuansa religius ini juga muncul pada banyak puisi yang lain, misalnya pada
Pohon Cemara
.........
Aku pulang di malam yang tak kauduga
Halo, itu celana kok sudah ada pantatnya;
Panah telah patah, hati telah berdarah;
Darahnya kausimpan di botol yang tak mudah pecah.

Darah dalam bejana dan kesetiaan untuk menyimpannya menyaran pada darah Kristus yang dapat bermakna keimanan. Demikian juga dengan puisi berikut.
Di Perjamuan
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
kadang bahkan lupa rasanya,
Aku belum bisa menjadi pemabuk
yang baik dan benar, Sayang.

Penulis memilih kata ‘darah’ sebagai iman dan ‘mabuk’ sebagai kondisi ‘in trance’. Puisi di atas bercerita tentang kesadaran akan iman yang belum sempurna. Keimanan tidak dirasukkan, tetapi tetap dibiarkan membeku (di kulkas) di luar jiwa. Suasana kristiani ditunjukkan juga pada puisi berikut.
Aceh, 26 Desember 2004
Gema lonceng Natal
Masih bergetar di kaca jendela
Ketika Aceh meleleh
Di kelopak mataku,
Menetes deras
Ke dalam gelas
Di atas meja perjamuanmu.

Suasana kristiani ini juga tampak dalam bait terakhir puisinya yang berjudul “Harga Duit turun Lagi” berikut ini.
Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya.
Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya.
Berilah kami rejeki pada hari ini
Dan ampunilah kemiskinan kami....

Jalinan suasana religius memang paling mudah akrab dengan dunia batin penyair yang cenderung aktif berkontemplasi, dan permenungan yang paling rajin muncul memang religiositas. Hanya saja religiositas dalam Kepada Cium identik alkitabi, belum merambah belantara religiositas yang universal seperti halnya beberapa penyair lain, misalnya Subagio Sastrowardoyo dan Abdul Hadi W.M.
Subagio Sastrowardoyo mewartakan “Siapa yang pernah mengalami keakraban hubungan dengan roh akan menggigil kecemasan seperti Muhammad di depan Jibril di Bukit Hira. Dalam kesadaran yang paling cerah itu kita hanya bisa diam membisu, dan setiap gerak pikiran dan hati yang mencoba menyelami lebih dalam inti yang lebih rahasia dan keramat terasa sebagai dosa.” Pernyataan ini tecermin dalam:
Muka putih di jendela
mengikut aku dari subuh

tanganku lumpuh
(“Rasa Dosa”, Subagio Sastrowardoyo)

Religiositas islami di atas dilengkapi dengan
Kita hanya Laki dan Putra sekali
yang menghapus dosa
dari tubuh keruh darah.

Yang menyerah terpampang ke salib.

Eli, Eli, lama sabakhtani!
(“Tanda”, Subagio Sastrowardoyo)

Religiositas kristiani ini pun masih diperkaya dengan Hindu,
Rangda! Dewa bermata galak dan napsu membusa
Datanglah sebagai pengertian atau sebagai nama
jangan sebagai ujud
karena semua ujud menakutkan
Biarlah aku membayangkan kau
sebagai kekosongan

Demikian Subagio Sastrowardoyo, demikian pula Abdul Hadi W.M.
Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai. “Demi Jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya,” begitu nyanyian mereka. “Tuhan pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad – bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan.”
O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar?
Yerusalem dan Mekah tidak seluas hati dan jiwa ini.
Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore.
(“Meditasi”, Abdul Hadi W.M.)

Permenungan tentang pengkotak-kotakan religiositas tersebut disempurnakan dengan,

Akupun sudah letih naik turun candi, keluar masuk gereja dan mesjid. Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya.
(“Meditasi III”, Abdul Hadi W.M.)

Permenungan religiositas dalam puisi diberikan Goenawan Mohamad secara filusufis, “Tapi pada tiap bahasa, terutama dalam puisi, selalu ada sesuatu yang memungkiri kesepakatan, berlindung di sebuah ruang yang selama ini tergusur – sebuah ruang di mana enigma mendapatkan suaka. Pada detik seperti itulah pengalaman religius, perasaan akan kehadiran Tuhan, terasa luput dari alfabet. Pada akhirnya alfabet juga sebuah organisasi, urutan yang hanya dihafal dan tak perlu dihayati. Iman yang tergantung kepadanya akan jadi kepercayaan yang tampak kuat, teratur, tapi seperti tentara berseragam: sebuah mesin pertahanan dan agresi.”
Sehubungan dengan pengkotak-kotakan warna kepenyairan ini Gus Tf berpendapat, “Saya ingin karya itu dibaca banyak orang, tidak dibatasi oleh SARA, hukum, agama, ideologi, dan kelompok yang membatasi seseorang dan akhirnya juga hanya memilih bacaan yang sesuai dengan kelompoknya itu. Memang ada penulis yang sengaja menghindarkan diri dari cap A, sehingga dia nyatakan dirinya B, tetapi saya pikir itu memiskinkan sastra. Ada namanya novel selangkangan, ada label sastra Islam, kiri, kanan... Mestinya masyarakat tumbuh dengan banyak sumber.”
Ulasan religiositas tak pelak memang akan membimbing kita kepada orisinalitas. Pengaruh Al Kitab sangat terasa, seperti ditunjukkan pada /seperti anak rusa menemukan sarang air/ pada “Kepada Cium” yang identik Mazmur 42 ayat 2, dan ulasan religiositas di atas. Pada /malam ini aku mau minum di bibirmu/, pada puisi yang sama mengingatan kita kepada puisi “Ombak Itulah” karya Abdul Hadi W.M, yaitu pada larik /dari jauh kupinjam mulutmu buat mereguk gelas-gelas kosong waktu/ atau pada judul cerpen Hamsad Rangkuti, yaitu “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” Pada “Harga Duit Turun Lagi” bagian /mimpi semakin mahal,/ /hari esok semakin tak terbeli/ mengingatkan kita pada lagunya Iwan Fals, Mimpi yang Terbeli. Dalam hal ini Abdul Wachid B.S. berkomentar, “memang untuk menegakkan orisinalitas yang membawa pribadi yang mandiri itu, maka orang memerlukan kejujuran, sekalipun pengaruh mempengaruhi adalah hal yang tak terelakkan. Di samping alasan klasik bahwa setiap hasil sastra bukanlah penciptaan pertama yang mempunyai kemutlakan sebagaimana Allah mencipta. Akan tetapi pengaruh itu pun hendaknya diletakkan di dalam konteks kejujuran sehingga pengaruh tidak sekadar menjadi keterpengaruhan yang pasif, tetapi keterpengaruhan kreatif.”
Orisinalitas seni memang tidak hanya dikaitkan dengan keotentikan, tetapi juga keunikan dalam memodifikasi. Seperti kita mafhum, seni pada galibnya semakna dengan modifikasi kreatif yang unik. Yang asli hanya milik Tuhan, dan penyair sebatas memodifikasi. Hanya masalahnya modifikasi ini unik atau tidak.
Joko Pinurbo dalam kumpulan puisi agaknya sudah berkutat mewujudkan modifikasi unik ini. Firman Tuhan dalam Alkitab yang puitis dia sajikan kembali dengan keunikan kepenyairannya. Firman Tuhan yang cenderung teologis dia tiupkan kembali dengan ruh kebersahajaan. Agaknya inilah keunikannya yang membedakan dengan penyair lain – dari firman yang puitis teologis digubah menjadi firman renyah dan bersahaja. Biasanya penyair menggubah firman Tuhan yang puitis teologis dimodifikasi menjadi puitis-teologis-kontemplatif.
Usaha keras untuk menyiasati orisinalitas ini ditunjukkan dalam puisi berikut.
Harimau
Aku masuk ke ruang kata, mau bertemu
dengan bermacam-macam arwah kata,
malah harimau kata yang kujumpa,
Kuasah pena, kutikam lehernya,
penaku nyaris patah.

Pada saat mencari ilham (ruang kata, arwah kata) penyair sudah berjuang mati-matian untuk menghalau keterpengaruhan diksi yang dia tunjukkan sebagai ‘harimau kata’. Penanya sampai nyaris patah. Proses kreatif penyair dalam menyiasati orisinalitas ditunjukkan juga dalam puisi berikut.
Pemulung Kecil
Tengah malam pemulung kecil itu datang
memungut barang-barang yang berserakan
di lantai rumah: onggokan sepi, pecahan bulan,
bangkai celana, bekas nasib, kepingan mimpi.

Sesekali ia bercanda juga:
“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.”

Dikumpulkannya pula rongsokan kata
yang telah tercampur dengan limbah waktu.
Aku terhenyak: “Hai, jangan kauambil itu.
Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”

Kemudian ia pergi dan masuk ke relung tidurku.

Perasaan nyaris hopeless seorang penyair ditunjukkan dalam puisi di atas. /“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?/ . Keputusasaan ini dilanjutkan dengan grenengan yang lebih nylekethe, /Lebih enak jadi teman penyair/. Mungkin yang dimaksudkan teman adalah kaum kritikus sastra yang bisa lebih sejahtera dengan jalan mengkritik karya sastra orang lain dibanding kreator sastra itu sendiri? Sudah demikian keadaannya, proses kreatif yang unik pun tidak mudah. Diksi, tema, dan segala pernik dunia puisi sudah dieksploitasi penyair sebelumnya, sehingga dia hanya menjadi pemulung yang mengumpulkan rongsokan kata yang tercampur limbah waktu.
Meskipun kondisinya tidak menggembirakan, kembali ke puisi “Kepada Cium” diksi yang dipilihnya memunculkan citraan yang kuat mengenai terpuaskannya kerinduan ‘aku lirik’ pada ‘sosok’ yang betul-betul menjadi dambaan jiwanya. Kita membayangkan seekor anak rusa yang sangat kehausan, tiba-tiba menemukan sarang air, betapa sejuk dan segarnya. Rasa haus yang terpuaskan dideskripsikan dengan indah pada ungkapan seperti gelandangan kecil yang menenggak sebotol mimpi di bawah rindang matahari atau pada ungkapan seperti mulut kata mendapatkan susu sepi yang masih hangat dan murni. Betapa segar dan sejuknya. Dan kita diberi kejutan kecil pada dua larik terakhir, yaitu /seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri/pada luka lambung yang tak terobati/. Larik ini sekaligus mengingatkan kita pada sosok Nabi Isa atau Yesus yang memiliki luka di lambungnya.
Kepiawaiannya dalam memutarbalikkan kelaziman juga menjadi salah satu kekuatan pada puisi-puisi Joko Pinurbo, misalnya menenggak sebotol mimpi, minum di bibirmu, mulut kata, dan lidah doa adalah ketidaklaziman yang kita jumpai pada “Kepada Cium”. Kita harus membuka cadar kata-kata untuk menyingkap maknanya.
Joko Pinurbo bertutur dengan elok, menggunakan diksi yang dipilihnya secara cermat dengan bunyi /i/ yang cukup dominan pada akhir setiap larik. Kesan manis dan ringan sangat terasa. Namun ada satu kata yang agak mengganggu, yaitu kata sebotol pada larik keempat. Seandainya Joko menggunakan kata segelas atau secawan akan lebih tepat dan barangkali akan semakin melengkapi ikon-ikon yang membawa ke suasana kristiani.
Ikon celana atau orang kecil dihadirkan sebagai kepahitan hidup manusia dengan cara yang ringan namun mampu menyentuh kalbu, seperti dalam puisi “Harga Duit Turun Lagi”, “Himne Becak”, “Malam Suradal”, dan “Kepada Uang”.


Kepada Uang

Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.

Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku,
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.


Dominasi bunyi /r/ pada baris pertama, beri, rumah, murah mampu menyuguhkan suasana remeh. Uang yang pada umumnya dibaiat sebagai rasul modern diperlakukan Joko sebagai perkara ringan yang cukup untuk memenuhi urusan rakyat jelata secara bersahaja. Dengan kata lain, puisi ini mengisyaratkan optimisme rakyat jelata yang diiringi dengan perasaan sabar dan nrimo. Tak perlu gegap gempita untuk uang.
Persentuhan pengarang dengan objek secara langsung menjadi salah satu kekuatan dalam sebuah puisi. Hal ini terlihat dalam puisi “Surat dari Yogya”. Penyair yang sejak tahun 1980-an sampai sekarang bermukim di Yogyakarta ini bertutur dengan lembut mengenai peristiwa-peristiwa yang menimpa kota Yogyakarta, dari gempa, maraknya pembangunan plaza yang menggusur bangunan-bangunan historis, sampai suburnya pertumbuhan kafe yang meminggirkan rakyat kecil.
Surat dari Yogya
Syamsul, kekasih kita, tiba-tiba raib entah ke mana.
Pada malam terakhir ia terlihat masih tertawa
bersama Saut, temannya minum bir dan bercanda.
Bahkan ia sempat mengantar sepasang turis
melihat-lihat korban gempa.
Setelah itu ia tinggalkan begitu saja becaknya
di depan rumahnya yang porak poranda.

Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa.
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk berduka.
Banyak yang terasa musnah, atau barangkali
kita saja yang gagap untuk berubah,
seakan hidup miskin adalah berkah.
Entahlah. Aku hanya lihat samar-samar
sarung Syamsul berkibar-kibar di depan rumah.

Suatu malam becak Syamsul datang ke rumahku:
“Apakah Mas Syamsul ada di sini?”
Kubetulkan celanaku, kurapikan sajak-sajakku:
“Syamsul masih ada. Ia tidak ke mana-mana.
Syamsul sudah menjadi nama sebuah kafe
Yang baru saja dibuka. Maukah kau kuajak ke sana?”

Titik tutur puisi di atas adalah syamsul. Syamsul nama akrab di tengah keseharian kita. Karena akrab, kita merasa kehilangan tatkala syamsul tidak beserta di tengah kita. Kehilangan ini sangat beralasan lagi manakala kita sibak syamsul secara maknawi. Syamsul menyaran pada syamsi dari bahasa Arab, matahari. Matahari pusat pencerahan. Matahari pusat bersikap. Rakyat jelata layak kehilangan, manakala ‘sinar matahari’ murah yang menjadi milik satu-satunya ini juga raib tertutup kafe sebagai panutan baru.
Seperti puisi-puisi sebelumnya, dalam ranah sosial, celana (kesederhanaan) kembali dipertentangkan dengan telepon genggam (kemodernan instantif). Alur objek ini tampak pada puisi “Pesan dari Ayah” dan “Mobil Merah di Pojok Kuburan”.

Pesan dari Ayah
Datang menjelang petang, aku tercengang melihat
Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam
di bawah pohon sawo di belakang rumah.
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian.

“Jangan ganggu suamiku,” Ibu cepat-cepat
meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar
menulis dan mengirim pesan untuk Ibu.
Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.”

Ketika pamit hendak kembali ke Jakarta,
aku sempat mohon kepada Ayah dan Bunda
agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar
mengabarkan keadaan, supaya pikiranku tenang.

Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam
telepon genggamku terkejut mendapat kiriman
pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.”

Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:
“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!”

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu.

Dalam dunia yang makin modern, perjumpaan antarmanusia cukup diwakili dengan telepon genggam. Perjumpaan bukan lagi merupakan suatu keharusan. Bahkan telepon genggam selalu hadir setiap saat bahkan pada saat kita sedang bersama dengan orang lain seperti terungkap dalam bait ketiga:

“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!”

Dan dalam dunia yang modern ini, tak pelak lagi, sebenarnya manusia-manusia makin bergelut dengan kesepiannya sendiri. Telepon genggam menjadi alternatif di dunia modern sebagai pengusir sepi:
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian.

pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.”

Dan puisi di atas diakhiri dengan ingatan yang manis tentang masa kecilnya yang hangat ketika belajar menulis di bawah pohon sawo:
Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu.

Ikon pohon sawo mendukung ikon celana, yaitu rakyat kecil. Pohon sawo identik dengan pohon yang biasa tumbuh di belakang rumah rakyat kecil. Sebaliknya sawo kecil identik tumbuh di depan rumah kaum bangsawan.
Sepintas kita melihat bahwa kata-kata yang digunakan Joko Pinurbo adalah kata-kata biasa, kata-kata sederhana yang dalam keseharian kita gunakan. Alternatif kreatif ini mungkin keunikan yang ingin dikibarkan Joko Pinurbo, di saat yang lain manggut-manggut menghadapi kata sebagai kepingan misterius padatnyawa. Alternatif kreatif ini mengingatkan kita pada George Sand, penulis Prancis, yang berpendapat, “ Dalam seni, kesederhanaan merupakan hakikat dari yang besar, yang sejati, dan yang indah.”
Sebagai bentuk ulasan, tulisan ini pun sederhana saja, tanpa maksud mengkritisi, sekadar terbata-bata menggapai makna. Seperti kita tahu, Goenawan Mohamad pun mengatakan, “Bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, dibentuk oleh bolong dan keinginan.” ***
(April, 2008, Bengkel Panama SMP 5 Jogja)

Tidak ada komentar: