Senin, 24 November 2008

Kandang Sapi






Kandang Sapi

Kandang sapi ini terletak di Pertapaan Rawaseneng, Kandangan, Temanggung. Dikelilingi pegunungan dengan hutan pinusnya yang selalu menyajikan nyanyian angin yang sepoi-sepoi, kandang sapi ini dengan tenang menaungi sapi-sapi yang tinggal di dalamnya. Lihatlah, sapinya gemuk-gemuk, tak pernah kekurangan rumput segar. Tentunya, sapi-sapi ini pun menghasilkan susu yang tak kalah segarnya dengan sejuk sepoi hawa pegunungan. Mau mencoba susu sapi-sapi ini? Datang aja ke sana!

Senin, 17 November 2008

Di Antara Kawan-kawan
























duka buat simbah

Aku Kini Seekor Burung

Aku kini seekor burung
Liar, bebas
Aku tinggal di udara bersama angin
Kususuri lorong-lorong waktu
Berteman sepi yang tak kuingin

Aku kini seekor burung
Tak ada lagi tempat bagiku
Di sini, dan di mana pun
Dunia begitu luas tanpa batas
Di dinding langit jantungku terhempas

Aku kini seekor burung
Bebas, tapi mengapa
Aku begitu sedih
Ketika kusadari
Aku hanya sendiri
Terusir dalam sunyi
(2008)




Ditelan Kabut

Dalam sebuah perjalanan, tiba-tiba
Kaulenyap entah ke mana
”Aku ditelan kabut”, begitu bisikmu pada angin

Kucari jejakmu pada butiran pasir
Desir gelombang segera menyapu bersama air

Kuhirup udara, barangkali
Harum nafasmu masih ada
Yang tersisa hanyalah hampa

Hanya sebuah keyakinan
Membingkai hati tuk bertahan
Engkau telah menjelma samudera
Biarkan aku tenggelam di sana

(2008)




Pulang

Mengenang Mbah Sudi

Simbah yang tinggal di depan rumah
sudah pergi
Ditinggalkan raganya
dalam sebuah bilik sepi

Dari jauh ia memandang
raga yang setia menemani
dalam sebuah perjalanan panjang

Ketika orang-orang menemukan jasadnya
simbah mengintip dari balik jendela
Suka cita langit berdendang
Menyambut simbah pulang

(2008)




Simbah dan Manusia Kabut

Malam itu Simbah bersama manusia kabut,
mengobrol di beranda dingin
berdua menjadi satu dalam balutan angin

tubuhnya yang telanjang tersamar
matanya lelah cahaya pendar-pendar
rambut putihnya panjang berkibar

manusia kabut pandangannya tajam menghunjam
berkata tegas menandas
simbah harus pulang ke negeri impian
meninggalkan kamar kosong sendirian

(2008)

Kamis, 06 November 2008

Kecerdasan Majemuk


Resume tentang Kecerdasan Majemuk dan
Pengembangan Kecerdasan Linguistik


Teori mengenai kecerdasan majemuk dikemukakan oleh Gardner melalui bukunya yang berjudul Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligence pada tahun 1983. Pada mulanya dikemukakan tujuh kecerdasan. Sejalan dengan perkembangan penelitian yang dilakukannya, Gardner lalu memasukkan tiga kecerdasan yang lain dalam bukunya Intelligence Reframed (1999), yaitu kecerdasan naturalis, kecerdasan eksistensial, dan kecerdasan spiritual. Kesepuluh kecerdasan tersebut adalah
Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan Logika-Matematika
Kecerdasan Intrapersonal
Kecerdasan Interpersonal
Kecerdasan Musikal
Kecerdasan Visual-Spasial
Kecerdasan Kinestetik
Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan Eksistensial
Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan dalam menggunakan kata-kata secara terampil dan mengekspresikan konsep-konsep secara fasih. Kecerdasan logis-Matematis adalah kemampuan dalam memahami hubungan-hubungan humanikal. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk menghubungkan dunia di luar diri kita dengan dunia di dalam diri kita. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk berkomunikasi dan memahami orang lain, mengerti kondisi pikiran atau suasana hati yang berbeda, sikap atau temperamen, motivasi dan kepribadian, dan juga meliputi kemampuan untuk membentuk dan mempertahankan suatu hubungan. Kecerdasan musikal adalah kemampuan untuk merespon musik, membuat komposisi, maupun memainkan alat musik. Kecerdasan Visual-Spasial adalah kemampuan untuk mentransformasikan dunia visual-spasial. Kecerdasan Kinestetik adalah kemampuan untuk menggabungkan gerakan fisik dan pikiran untuk menyempurnakan suatu gerakan. Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali orang, tanaman, hewan, dan benda yang ada di sekitar kita. Kecerdasan eksistensial adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kapasitas atau kemampuan untuk berpikir kosmis.
Gunawan (2003) memasukkan kecerdasan kepemimpinan, yaitu kemampuan seseorang dalam memimpin. Seseorang yang memiliki kecerdasan kepemimpinan memiliki bermacam kecerdasan yang lain, antara lain kecerdasan linguistik, kecerdasan interpersonal, dan kecerdasan eksistensial.
Jennifer James menambahkan satu jenis kecerdasan lagi yang disebutnya kecerdasan praktis.Yang dimaksud dengan kecerdasan praktis adalah keterampilan yang memungkinkan sejumlah orang untuk mengambil komputer atau membongkar bagian-bagiannya dan kemudian menyatukannya kembali.

Kecerdasan Linguistik
Kecerdasan linguistik muncul ketika manusia masih dalam rahim. Seorang anak tidak diajarkan bahasa ibunya; jika ibunya mempunyai kemampuan berbicara, maka ia tidak dapat menghalangi anaknya untuk belajar berbicara. Nyatanya, jika seorang anak selalu mendengar suatu bahasa setiap saat selama tujuh tahun pertama hidupnya, maka kecerdasan linguistiknya akan menjadi aktif.
Menurut James (dalam Efendi, 2005), kecerdasan linguistik ditunjukkan oleh kepekaan akan makna dan urutan kata, serta kemampuan membuat beragam penggunaan bahasa. Kemampuan alamiah yang berkaitan dengan kecerdasan bahasa ini adalah: percakapan spontan, dongeng, humor, kelakar, membujuk orang untuk melakukan tindakan, member penjelasan atau mengajar
Menurut Gunawan (2003), orang dengan kecerdasan linguistik yang berkembang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Mampu mendengar dan memberikan respon pada kata-kata yang diucapkan dalam suatu komunikasi verbal
Mampu menirukan suara, mempelajari bahasa, serta mampu membaca dan menulis karya orang lain
Mampu belajar melalui pendengaran, bahan bacaan, tulisan, dan melalui diskusi atau debat
Mampu mendengarkan dengan efektif serta mengerti dan mengingat apa yang telah didengarkan
Mampu membaca dan mengerti apa yang dibaca
Mampu berbicara dan menulis dengan efektif
Mampu mempelajari bahasa asing
Mampu meningkatkan kemampuan bahasa yang digunakan untuk komunikasi sehari-hari
Tertarik pada karya jurnalisme, berdebat, berbicara, menulis, atau menyampaikan suatu cerita atau melakukan perbaikan pada karya tulis
Memiliki kemampuan menceritakan dan menikmati humor.
Kecerdasan linguistik juga mencakup kemampuan berkomunikasi. Menurut Albert Mehrabian (dalam Gunawan, 2003) ada tiga komponen dalam berkomunikasi, yaitu kata yang digunakan, suara atau intonasi nada yang digunakan saat mengucapkan kata-kata tersebut, dan bagaimana kita menggunakan ekspresi wajah dan bahasa tubuh untuk menegaskan apa yang kita sampaikan.

Pengembangan Kecerdasan Linguistik
Pengembangan Kemampuan Mendengarkan
a. Berusaha menemukan hal menarik dari apa yang sedang didengarkan
b. Jangan terlalu terpengaruh pada bagaimana cara menyampaian informasi atau ide
c. Bila mendengarkan orang lain, jangan memotong pembicaraan
d. Berusaha untuk memfokuskan perhatian
e. Berusaha mengolah informasi yang diterima dan tetap terbuka pada ide-ide yang disampaikan
Pengembangan Kemampuan Berbicara
a. Latihan public speaking dengan mengikuti organisasi tertentu
b. Mengarang cerita dengan memilih kata secara acak
c. Mengarang cerita dengan memilih objek secara acak
d. Bercerita seakan-akan sedang mengajar
e. Menulis buku harian
f. Berdiskusi dengan orang lain mengenai suatu topik yang menarik
g. Berdebat
Pengembangan Kemampuan Membaca
a. Kiat untuk membaca:
· Mempersiapkan diri
· Meminimalkan gangguan
· Duduklah dengan sikap tegak
· Luangkan waktu beberapa saat untuk menenangkan pikiran
· Gunakan jari Anda atau benda lain sebagai petunjuk
· Melihat sekilas bahan bacaan sebelum mulai membaca
b. Kiat untuk memahami bacaan:
· Jadilah pembaca yang aktif
· Membaca gagasannya, bukan kata-katanya
· Libatkan seluruh indera
· Ciptakan minat
· Buatlah peta pikiran untuk bacaan tersebut
Pengembangan Kemampuan Menulis
a. Menulis dengan tahap-tahap berikut:
· Persiapan
· Membuat draft kasar
· Berbagi (sharing)
· Memperbaiki
· Penyuntingan
· Penulisan kembali
· Evaluasi
b. Untuk memperlancar penulisan, gunakan cara-cara berikut:
· Mulailah secepatnya
· Putarlah musik
· Mencari waktu penulisan yang tepat
· Berolahraga untuk menyegarkan tubuh dan otak
· Membaca apa saja untuk membuka wawasan
· Mengelompok-kelompokkan pekerjaan
· Gunakan warna-warna
c. Kiat supaya tidak mengalami hambatan dalam menulis:
· Menghemat kertas
· Gunakan sudut pandang yang berbeda
· Mengambil jarak dari tulisan
· Keluar dari aktivitas rutin
· Mengganti alat-alat tulis
· Mengubah lingkungan
· Berbicara kepada orang-orang dekat tentang projek yang dikerjakan

Daftar Pustaka

De Porter, Bobbi dan Mike Hernacki. 2003. Quantum Learning. Bandung: Penerbit Kaifa PT
Mizan Pustaka.

Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Gunawan, Adi W. 2003. Born to Be a Genius. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kepada Cium

Kepada Cium
Manekarenda di Sekibar Celana

Judul : Kepada Cium
Penulis : Joko Pinurbo
Jenis : Kumpulan Puisi
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Kumpulan puisi Kepada Cium karya Joko Pinurbo merupakan ‘bunga renda’ dari kumpulan puisi yang telah terbit sebelumnya, yaitu Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Pacar Senja - Seratus Puisi Pilihan. Disebut bunga renda karena mencerminkan sulaman kata yang menelisik di pori-pori celana. Tanpa harus disebutkan dalam angka matematis analitis, seperti puisi-puisi sebelumnya, sangat banyak kata ‘celana’ muncul dalam kumpulan puisi ini. Ikon celana telanjur melekat atau memang dimaksudkan sebagai kibaran kepenyairan Joko Pinurbo. Sepertinya Joko Pinurbo memang nyaman berada di balik celananya untuk mempertontonkan benang merah kepenyairannya yang sederhana dan menjelata.
Buku yang berisi puisi-puisi Joko Pinurbo yang ditulis sepanjang tahun 2005-2006 ini akan membawa pembaca dan peminat sastra untuk dapat mencamili puisi-puisi karya penyair ini secara lebih mesra. Pernik-pernik yang dituturkan antara lain penderitaan manusia (“Seperti Apa Terbebas dari Dendam Derita?”, “Dalam Demam”, “Sehabis Sakit”), bencana alam (“Aceh, 26 Desember 2004”), kesepian manusia (“Malam Insomnia”), hubungan manusia dengan Tuhan (“Winternachten, 2002”, “Sehabis Sembahyang”, “Magrib”, “Kepada Cium”, “Di Perjamuan”), masalah sosial (“Himne Becak”, “Malam Suradal”, “Kepada Uang”, “Harga Duit Turun Lagi”), dan cinta (“Cinta Telah Tiba”). Bila kumpulan puisi ini diibaratkan sebagai sebuah rumah yang memiliki banyak jendela dengan pemandangan yang berbeda, di dalamnya tetap ada sebuah ruang utama, yaitu sebuah ruang yang berisi kerinduan manusia untuk berhubungan mesra dengan penciptanya.
Penyair kelahiran Sukabumi ini sejak awal telah memiliki ciri khas, yaitu kesederhanaannya dalam memilih kata, tema, dan kesederhanaannya dalam bertutur seperti dalam puisi “Malam Insomnia” berikut ini.

Malam Insomnia
Tenang saja, tak usah khawatir.
Aku berani pergi sendiri ke kamar mandi
Aku akan baik-baik saja.
Tak ada hantu yang perlu ditakuti.
Oh tidak, aku tidak akan bunuh diri
di kamar mandi. Aku akan segera kembali.

Di tempatku terbaring sayup terdengar
suara bocah sedang menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian hening. Setelah itu ia tertawa nyaring.

Bu, aku sudah selesai mandi.
Di kamar mandi aku sempat berjumpa
Dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya.

Bagus. Nyalakan matamu.
Segera tuliskan kata-katamu
dengan sisa-sisa sakitmu
sebelum aku goyah, berderak, rebah
karena tak sanggup lagi menampung
gelisah tidurmu yang semakin parah.

Baiklah. Doakan menang ya, Bu. Aku akan duel
Dengan harimau merah yang sering merusak tidurku.

Kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran si ‘aku lirik’ diungkapkan dengan gaya paradoks. Seorang aku lirik yang berani pergi sendiri ke kamar mandi karena tak ada hantu yang perlu ditakuti. Di lain pihak ada suara bocah yang menjerit-jerit ketakutan ...hening... lalu tertawa nyaring. Kesepian yang menyergap di tengah malam insomnia dilukiskan sebagai sesosok hantu (gembong sepi nan gondrong rambutnya)
Membaca puisinya seperti mendengarkan orang bercerita, bertutur, berbicara tentang hal-hal yang amat biasa, namun pada akhirnya membuat kita terhenyak, tersadar tentang sesuatu entah itu berupa keindahan, kepahitan, kesyahduan hubungan manusia dengan Yang Mahasempurna, entah itu perasaan campur aduk segala rasa yang biasanya membuat kita merinding seperti dalam puisi “Kepada Cium” berikut ini.
Kepada Cium

Seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,

seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,

malam ini aku mau minum di bibirmu.

Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,

seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.

Bila kita membaca larik /seperti anak rusa menemukan sarang air/ , segera kita diingatkan pada teks yang mirip, yaitu seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, yang terdapat pada Alkitab (Mazmur 42 ayat 2). Luka lambung pun mengingatkan kita kepada luka Kristus. Nuansa religius ini juga muncul pada banyak puisi yang lain, misalnya pada
Pohon Cemara
.........
Aku pulang di malam yang tak kauduga
Halo, itu celana kok sudah ada pantatnya;
Panah telah patah, hati telah berdarah;
Darahnya kausimpan di botol yang tak mudah pecah.

Darah dalam bejana dan kesetiaan untuk menyimpannya menyaran pada darah Kristus yang dapat bermakna keimanan. Demikian juga dengan puisi berikut.
Di Perjamuan
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
kadang bahkan lupa rasanya,
Aku belum bisa menjadi pemabuk
yang baik dan benar, Sayang.

Penulis memilih kata ‘darah’ sebagai iman dan ‘mabuk’ sebagai kondisi ‘in trance’. Puisi di atas bercerita tentang kesadaran akan iman yang belum sempurna. Keimanan tidak dirasukkan, tetapi tetap dibiarkan membeku (di kulkas) di luar jiwa. Suasana kristiani ditunjukkan juga pada puisi berikut.
Aceh, 26 Desember 2004
Gema lonceng Natal
Masih bergetar di kaca jendela
Ketika Aceh meleleh
Di kelopak mataku,
Menetes deras
Ke dalam gelas
Di atas meja perjamuanmu.

Suasana kristiani ini juga tampak dalam bait terakhir puisinya yang berjudul “Harga Duit turun Lagi” berikut ini.
Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya.
Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya.
Berilah kami rejeki pada hari ini
Dan ampunilah kemiskinan kami....

Jalinan suasana religius memang paling mudah akrab dengan dunia batin penyair yang cenderung aktif berkontemplasi, dan permenungan yang paling rajin muncul memang religiositas. Hanya saja religiositas dalam Kepada Cium identik alkitabi, belum merambah belantara religiositas yang universal seperti halnya beberapa penyair lain, misalnya Subagio Sastrowardoyo dan Abdul Hadi W.M.
Subagio Sastrowardoyo mewartakan “Siapa yang pernah mengalami keakraban hubungan dengan roh akan menggigil kecemasan seperti Muhammad di depan Jibril di Bukit Hira. Dalam kesadaran yang paling cerah itu kita hanya bisa diam membisu, dan setiap gerak pikiran dan hati yang mencoba menyelami lebih dalam inti yang lebih rahasia dan keramat terasa sebagai dosa.” Pernyataan ini tecermin dalam:
Muka putih di jendela
mengikut aku dari subuh

tanganku lumpuh
(“Rasa Dosa”, Subagio Sastrowardoyo)

Religiositas islami di atas dilengkapi dengan
Kita hanya Laki dan Putra sekali
yang menghapus dosa
dari tubuh keruh darah.

Yang menyerah terpampang ke salib.

Eli, Eli, lama sabakhtani!
(“Tanda”, Subagio Sastrowardoyo)

Religiositas kristiani ini pun masih diperkaya dengan Hindu,
Rangda! Dewa bermata galak dan napsu membusa
Datanglah sebagai pengertian atau sebagai nama
jangan sebagai ujud
karena semua ujud menakutkan
Biarlah aku membayangkan kau
sebagai kekosongan

Demikian Subagio Sastrowardoyo, demikian pula Abdul Hadi W.M.
Lalu kita dengar paduan suaranya. Seperti deru angin di pantai. “Demi Jesus, pahala sorga dan kenikmatan, akan kami hapuskan dosa kami seluruhnya,” begitu nyanyian mereka. “Tuhan pujaan Ayub dan Yusuf, gembala Musa dan Muhammad – bentangkanlah pada kami jalan yang benar dari aroma bintang dan buah-buahan.”
O, burung-burung, sudahkah kau baca Farid Attar?
Yerusalem dan Mekah tidak seluas hati dan jiwa ini.
Pohon-pohon rindang lebat tumbuh juga dalam hatimu.
Nyanyikanlah itu sepanjang pagi sepanjang sore.
(“Meditasi”, Abdul Hadi W.M.)

Permenungan tentang pengkotak-kotakan religiositas tersebut disempurnakan dengan,

Akupun sudah letih naik turun candi, keluar masuk gereja dan mesjid. Tuhan makin sempit rasa kebangsaannya.
(“Meditasi III”, Abdul Hadi W.M.)

Permenungan religiositas dalam puisi diberikan Goenawan Mohamad secara filusufis, “Tapi pada tiap bahasa, terutama dalam puisi, selalu ada sesuatu yang memungkiri kesepakatan, berlindung di sebuah ruang yang selama ini tergusur – sebuah ruang di mana enigma mendapatkan suaka. Pada detik seperti itulah pengalaman religius, perasaan akan kehadiran Tuhan, terasa luput dari alfabet. Pada akhirnya alfabet juga sebuah organisasi, urutan yang hanya dihafal dan tak perlu dihayati. Iman yang tergantung kepadanya akan jadi kepercayaan yang tampak kuat, teratur, tapi seperti tentara berseragam: sebuah mesin pertahanan dan agresi.”
Sehubungan dengan pengkotak-kotakan warna kepenyairan ini Gus Tf berpendapat, “Saya ingin karya itu dibaca banyak orang, tidak dibatasi oleh SARA, hukum, agama, ideologi, dan kelompok yang membatasi seseorang dan akhirnya juga hanya memilih bacaan yang sesuai dengan kelompoknya itu. Memang ada penulis yang sengaja menghindarkan diri dari cap A, sehingga dia nyatakan dirinya B, tetapi saya pikir itu memiskinkan sastra. Ada namanya novel selangkangan, ada label sastra Islam, kiri, kanan... Mestinya masyarakat tumbuh dengan banyak sumber.”
Ulasan religiositas tak pelak memang akan membimbing kita kepada orisinalitas. Pengaruh Al Kitab sangat terasa, seperti ditunjukkan pada /seperti anak rusa menemukan sarang air/ pada “Kepada Cium” yang identik Mazmur 42 ayat 2, dan ulasan religiositas di atas. Pada /malam ini aku mau minum di bibirmu/, pada puisi yang sama mengingatan kita kepada puisi “Ombak Itulah” karya Abdul Hadi W.M, yaitu pada larik /dari jauh kupinjam mulutmu buat mereguk gelas-gelas kosong waktu/ atau pada judul cerpen Hamsad Rangkuti, yaitu “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?” Pada “Harga Duit Turun Lagi” bagian /mimpi semakin mahal,/ /hari esok semakin tak terbeli/ mengingatkan kita pada lagunya Iwan Fals, Mimpi yang Terbeli. Dalam hal ini Abdul Wachid B.S. berkomentar, “memang untuk menegakkan orisinalitas yang membawa pribadi yang mandiri itu, maka orang memerlukan kejujuran, sekalipun pengaruh mempengaruhi adalah hal yang tak terelakkan. Di samping alasan klasik bahwa setiap hasil sastra bukanlah penciptaan pertama yang mempunyai kemutlakan sebagaimana Allah mencipta. Akan tetapi pengaruh itu pun hendaknya diletakkan di dalam konteks kejujuran sehingga pengaruh tidak sekadar menjadi keterpengaruhan yang pasif, tetapi keterpengaruhan kreatif.”
Orisinalitas seni memang tidak hanya dikaitkan dengan keotentikan, tetapi juga keunikan dalam memodifikasi. Seperti kita mafhum, seni pada galibnya semakna dengan modifikasi kreatif yang unik. Yang asli hanya milik Tuhan, dan penyair sebatas memodifikasi. Hanya masalahnya modifikasi ini unik atau tidak.
Joko Pinurbo dalam kumpulan puisi agaknya sudah berkutat mewujudkan modifikasi unik ini. Firman Tuhan dalam Alkitab yang puitis dia sajikan kembali dengan keunikan kepenyairannya. Firman Tuhan yang cenderung teologis dia tiupkan kembali dengan ruh kebersahajaan. Agaknya inilah keunikannya yang membedakan dengan penyair lain – dari firman yang puitis teologis digubah menjadi firman renyah dan bersahaja. Biasanya penyair menggubah firman Tuhan yang puitis teologis dimodifikasi menjadi puitis-teologis-kontemplatif.
Usaha keras untuk menyiasati orisinalitas ini ditunjukkan dalam puisi berikut.
Harimau
Aku masuk ke ruang kata, mau bertemu
dengan bermacam-macam arwah kata,
malah harimau kata yang kujumpa,
Kuasah pena, kutikam lehernya,
penaku nyaris patah.

Pada saat mencari ilham (ruang kata, arwah kata) penyair sudah berjuang mati-matian untuk menghalau keterpengaruhan diksi yang dia tunjukkan sebagai ‘harimau kata’. Penanya sampai nyaris patah. Proses kreatif penyair dalam menyiasati orisinalitas ditunjukkan juga dalam puisi berikut.
Pemulung Kecil
Tengah malam pemulung kecil itu datang
memungut barang-barang yang berserakan
di lantai rumah: onggokan sepi, pecahan bulan,
bangkai celana, bekas nasib, kepingan mimpi.

Sesekali ia bercanda juga:
“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.”

Dikumpulkannya pula rongsokan kata
yang telah tercampur dengan limbah waktu.
Aku terhenyak: “Hai, jangan kauambil itu.
Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”

Kemudian ia pergi dan masuk ke relung tidurku.

Perasaan nyaris hopeless seorang penyair ditunjukkan dalam puisi di atas. /“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?/ . Keputusasaan ini dilanjutkan dengan grenengan yang lebih nylekethe, /Lebih enak jadi teman penyair/. Mungkin yang dimaksudkan teman adalah kaum kritikus sastra yang bisa lebih sejahtera dengan jalan mengkritik karya sastra orang lain dibanding kreator sastra itu sendiri? Sudah demikian keadaannya, proses kreatif yang unik pun tidak mudah. Diksi, tema, dan segala pernik dunia puisi sudah dieksploitasi penyair sebelumnya, sehingga dia hanya menjadi pemulung yang mengumpulkan rongsokan kata yang tercampur limbah waktu.
Meskipun kondisinya tidak menggembirakan, kembali ke puisi “Kepada Cium” diksi yang dipilihnya memunculkan citraan yang kuat mengenai terpuaskannya kerinduan ‘aku lirik’ pada ‘sosok’ yang betul-betul menjadi dambaan jiwanya. Kita membayangkan seekor anak rusa yang sangat kehausan, tiba-tiba menemukan sarang air, betapa sejuk dan segarnya. Rasa haus yang terpuaskan dideskripsikan dengan indah pada ungkapan seperti gelandangan kecil yang menenggak sebotol mimpi di bawah rindang matahari atau pada ungkapan seperti mulut kata mendapatkan susu sepi yang masih hangat dan murni. Betapa segar dan sejuknya. Dan kita diberi kejutan kecil pada dua larik terakhir, yaitu /seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri/pada luka lambung yang tak terobati/. Larik ini sekaligus mengingatkan kita pada sosok Nabi Isa atau Yesus yang memiliki luka di lambungnya.
Kepiawaiannya dalam memutarbalikkan kelaziman juga menjadi salah satu kekuatan pada puisi-puisi Joko Pinurbo, misalnya menenggak sebotol mimpi, minum di bibirmu, mulut kata, dan lidah doa adalah ketidaklaziman yang kita jumpai pada “Kepada Cium”. Kita harus membuka cadar kata-kata untuk menyingkap maknanya.
Joko Pinurbo bertutur dengan elok, menggunakan diksi yang dipilihnya secara cermat dengan bunyi /i/ yang cukup dominan pada akhir setiap larik. Kesan manis dan ringan sangat terasa. Namun ada satu kata yang agak mengganggu, yaitu kata sebotol pada larik keempat. Seandainya Joko menggunakan kata segelas atau secawan akan lebih tepat dan barangkali akan semakin melengkapi ikon-ikon yang membawa ke suasana kristiani.
Ikon celana atau orang kecil dihadirkan sebagai kepahitan hidup manusia dengan cara yang ringan namun mampu menyentuh kalbu, seperti dalam puisi “Harga Duit Turun Lagi”, “Himne Becak”, “Malam Suradal”, dan “Kepada Uang”.


Kepada Uang

Uang, berilah aku rumah yang murah saja,
yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku,
yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku.

Sabar ya, aku harus menabung dulu.
Menabung laparmu, menabung mimpimu.
Mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu.

Uang, berilah aku ranjang yang lugu saja,
yang cukup hangat buat merawat encok-encokku,
yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa kecilku.


Dominasi bunyi /r/ pada baris pertama, beri, rumah, murah mampu menyuguhkan suasana remeh. Uang yang pada umumnya dibaiat sebagai rasul modern diperlakukan Joko sebagai perkara ringan yang cukup untuk memenuhi urusan rakyat jelata secara bersahaja. Dengan kata lain, puisi ini mengisyaratkan optimisme rakyat jelata yang diiringi dengan perasaan sabar dan nrimo. Tak perlu gegap gempita untuk uang.
Persentuhan pengarang dengan objek secara langsung menjadi salah satu kekuatan dalam sebuah puisi. Hal ini terlihat dalam puisi “Surat dari Yogya”. Penyair yang sejak tahun 1980-an sampai sekarang bermukim di Yogyakarta ini bertutur dengan lembut mengenai peristiwa-peristiwa yang menimpa kota Yogyakarta, dari gempa, maraknya pembangunan plaza yang menggusur bangunan-bangunan historis, sampai suburnya pertumbuhan kafe yang meminggirkan rakyat kecil.
Surat dari Yogya
Syamsul, kekasih kita, tiba-tiba raib entah ke mana.
Pada malam terakhir ia terlihat masih tertawa
bersama Saut, temannya minum bir dan bercanda.
Bahkan ia sempat mengantar sepasang turis
melihat-lihat korban gempa.
Setelah itu ia tinggalkan begitu saja becaknya
di depan rumahnya yang porak poranda.

Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa.
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk berduka.
Banyak yang terasa musnah, atau barangkali
kita saja yang gagap untuk berubah,
seakan hidup miskin adalah berkah.
Entahlah. Aku hanya lihat samar-samar
sarung Syamsul berkibar-kibar di depan rumah.

Suatu malam becak Syamsul datang ke rumahku:
“Apakah Mas Syamsul ada di sini?”
Kubetulkan celanaku, kurapikan sajak-sajakku:
“Syamsul masih ada. Ia tidak ke mana-mana.
Syamsul sudah menjadi nama sebuah kafe
Yang baru saja dibuka. Maukah kau kuajak ke sana?”

Titik tutur puisi di atas adalah syamsul. Syamsul nama akrab di tengah keseharian kita. Karena akrab, kita merasa kehilangan tatkala syamsul tidak beserta di tengah kita. Kehilangan ini sangat beralasan lagi manakala kita sibak syamsul secara maknawi. Syamsul menyaran pada syamsi dari bahasa Arab, matahari. Matahari pusat pencerahan. Matahari pusat bersikap. Rakyat jelata layak kehilangan, manakala ‘sinar matahari’ murah yang menjadi milik satu-satunya ini juga raib tertutup kafe sebagai panutan baru.
Seperti puisi-puisi sebelumnya, dalam ranah sosial, celana (kesederhanaan) kembali dipertentangkan dengan telepon genggam (kemodernan instantif). Alur objek ini tampak pada puisi “Pesan dari Ayah” dan “Mobil Merah di Pojok Kuburan”.

Pesan dari Ayah
Datang menjelang petang, aku tercengang melihat
Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam
di bawah pohon sawo di belakang rumah.
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian.

“Jangan ganggu suamiku,” Ibu cepat-cepat
meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar
menulis dan mengirim pesan untuk Ibu.
Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.”

Ketika pamit hendak kembali ke Jakarta,
aku sempat mohon kepada Ayah dan Bunda
agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar
mengabarkan keadaan, supaya pikiranku tenang.

Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam
telepon genggamku terkejut mendapat kiriman
pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.”

Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:
“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!”

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu.

Dalam dunia yang makin modern, perjumpaan antarmanusia cukup diwakili dengan telepon genggam. Perjumpaan bukan lagi merupakan suatu keharusan. Bahkan telepon genggam selalu hadir setiap saat bahkan pada saat kita sedang bersama dengan orang lain seperti terungkap dalam bait ketiga:

“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!”

Dan dalam dunia yang modern ini, tak pelak lagi, sebenarnya manusia-manusia makin bergelut dengan kesepiannya sendiri. Telepon genggam menjadi alternatif di dunia modern sebagai pengusir sepi:
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian.

pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.”

Dan puisi di atas diakhiri dengan ingatan yang manis tentang masa kecilnya yang hangat ketika belajar menulis di bawah pohon sawo:
Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu.

Ikon pohon sawo mendukung ikon celana, yaitu rakyat kecil. Pohon sawo identik dengan pohon yang biasa tumbuh di belakang rumah rakyat kecil. Sebaliknya sawo kecil identik tumbuh di depan rumah kaum bangsawan.
Sepintas kita melihat bahwa kata-kata yang digunakan Joko Pinurbo adalah kata-kata biasa, kata-kata sederhana yang dalam keseharian kita gunakan. Alternatif kreatif ini mungkin keunikan yang ingin dikibarkan Joko Pinurbo, di saat yang lain manggut-manggut menghadapi kata sebagai kepingan misterius padatnyawa. Alternatif kreatif ini mengingatkan kita pada George Sand, penulis Prancis, yang berpendapat, “ Dalam seni, kesederhanaan merupakan hakikat dari yang besar, yang sejati, dan yang indah.”
Sebagai bentuk ulasan, tulisan ini pun sederhana saja, tanpa maksud mengkritisi, sekadar terbata-bata menggapai makna. Seperti kita tahu, Goenawan Mohamad pun mengatakan, “Bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, dibentuk oleh bolong dan keinginan.” ***
(April, 2008, Bengkel Panama SMP 5 Jogja)

Kalatidha

Kalatidha
Reportase Sang Petualang
tentang Pelecehan Kemanusiaan


Judul : Kalatidha
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Ide Cerita : Nugroho Suksmanto
Jenis : Novel
Tahun Terbit : 2007
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Amenangi jaman edan
ewuh aya ing pambudi
milu edan nora tahan
yen tan milu anglakoni
boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
ndilalah karsa allah
begja-begjane kang lali
luwih begja kang eling lawan waspada
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)

Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma ini tak pelak mengingatkan kita akan Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsito. Karena berpijak pada serat ini, tak ayal, Kalatidha berpusar pada arus garapan utama pada umumnya seniman, yaitu tentang keruwetan, kerakusan, kerusakan. Bahkan, begitu membaca judulnya, pembaca akan terbayang isi novel.
Pilihan mainstream ini memang dekat sekali dengan track record Seno Gumira Ajidarma (SGA) sejak kecil yang ‘pemberontak’. Meskipun terlahir di lingkungan akademis UGM (putra Prof. Dr. MSA Sastroamidjojo, Guru Besar FMIPA UGM), SGA terkenal pembangkang di sekolah. Waktu sekolah dasar ia mengajak teman-temannya tidak ikut kelas wajib kor sampai ia dipanggil guru. Waktu di SMP 5 Yogyakarta ia memberontak: tidak mau pakai ikat pinggang, baju dikeluarkan, yang lain pakai baju putih ia pakai batik, yang lain berambut pendek ia gondrong, dan memelopori pemakaian tas kresek, sehingga sebagian besar siswa memakai tas kresek di sekolah. Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, SGA tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman, Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Seperti di film-film: ceritanya seru, menyeberang sungai, naik kuda, dengan sepatu mocasin, sepatu model boot yang ada bulu-bulunya. Selama tiga bulan, ia mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT Bulaksumur yang gelarnya profesor doktor. Lancar. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit kepada ibunya. Tapi, ibunya mengirim tiket untuk pulang. Maka, SGA pulang dan meneruskan sekolah. (Pusat Data dan Analisa Tempo, 2004, Panama SMP 5 Jogja, 2008)
Tabiat melawan ‘kebijakan’ sekolah ini berpengaruh pada Kalatidha.
Ini kualami dalam pelajaran menggambar. Apabila kami diminta menggambar di atas sabak dengan grip, yang kalau salah bisa dibersihkan dengan ludah, maka bisa ditebak bahwa kami akan menggambar yang itu-itu saja: pemandangan sawah dengan dua gunung dan jalan membelah di tengahnya. Namun sejak berlangsung pencidukan di mana-mana, kami sekarang mempunyai gambar lain: itulah simbol bergambar belati pasukan komando baret merah yang menjadi pujaan di mana-mana. Setelah beberapa bulan aku pun bosan dan suatu kali menggambar yang lain: yakni lambang palu arit.
Aku belum selesai menggambar ketika seorang anak berteriak, bahwa aku menggambar palu arit. Mendadak seluruh anak laki-laki di kelas mengerumuni mejaku, bau keringat mereka yang apak selalu terasa kembali olehku. Aku merasa gerah, namun tetap tenggelam dalam keasyikanku. Wajah teman-temanku kurasa sudah sama ganasnya dengan orang-orang yang memburu orang sampai masuk kelas waktu itu.
“Bapakmu PKI , ya?”
“Bapakmu PKI?”
“Kamu PKI?”
Memang sudah sering kudengar istilah PKI waktu itu. Suatu hari ada seorang anak yang tak pernah datang lagi ke sekolah dan penjelasan yang kudengar hanyalah, “Bapaknya PKI.” Namun, aku sungguh tidak tidak tahu apa hubungan gambar palu arit itu dengan PKI.
(Kalatidha, 2007, halaman 22)

Kutipan di atas menyiratkan jiwa berontak SGA terhadap stagnasi dan kesewang-wenangan. Dengan kata lain, pemberontakan ini bukan rekaan pengarang dalam kamar semata, melainkan data empiris yang identik dengan SGA. Beberapa paragraf kutipan di atas menyaran pada reportase beberapa kejadian berbeda tetapi identik. Tudingan sebagai pengikut PKI di atas, meskipun berseting tumbangnya orde lama, tetapi dipopularkan lagi, terutama untuk legitimasi pencidukan aktivis atau demonstran yang bergejolak pada masa tuntutan reformasi. Di tengah gejolak ini SGA terseret di dalamnya, baik secara langsung maupun sekadar sebagai ‘saksi’. Secara eksplisit, keterlibatan SGA dalam suasana chaos ini tampak pada surat terbuka Seno Gumira Ajidarma.

Surat Terbuka
Seno Gumira Ajidarma

APAKAH TEROR SUDAH DIMULAI?

SURAT ini adalah surat terbuka untuk siapa saja yang masih
memiliki akal sehat, hati nurani, dan terutama nyali.

Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, sehubungan dengan Tragedi 3 April di Universitas
Gadjah Mada. Dalam peristiwa itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret
dan diinjak-injak kepalanya oleh para petugas keamanan.

Detil dari peristiwa itu, yang disampaikan oleh Timur
sendiri, telah saya tuliskan dalam Mengapa Anak Saya Diinjak-injak,
yang dimuat koran Bernas sebagai Anak Saya Timur Angin.
Dalam tulisan itu sudah terungkap, bahwa Timur hanya menonton, tidak memotret,
tidak berteriak-teriak, apalagi melempar batu. Sebagai bapaknya, bukankah
wajar saya menggugat Pangab, bukan sebagai pribadi, tapi sebagai pihak
yang bertanggung jawab atas atas kebijakan institusi angkatan bersenjata
ini? Saya hanya menuntut agar kesalahan ini diakui, dan agar minta
maaf kepada korban yang tidak bersalah.

Saya tidak bicara tentang insiden, saya tidak bicara tentang
salah pentung, tentang salah pukul, tentang ketidaksengajaan -- siapakah
yang punya akal sehat dan hati nurani setuju bahwa menginjak-injak kepala
orang lain dengan sengaja merupakan kelakuan yang beradab?

Apakah tindakan semacam ini memang dibenarkan dalam pendidikan
dan kebijakan bagi para petugas keamanan? Apalagi kepada orang yang tidak
bersenjata dan bersalah. Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih
dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada Kolonel (Pol) Chaerul, yang telah
berusaha keras melindungi Timur ketika sedang digebuki, meskipun penganiayaan
itu sempat berlangsung terus.

SAYA telah mengajukan tuntutan, dan hal itu telah dipublikasikan.
Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah memperingatkan saya bahwa
"seperti yang lain-lain" pasti akan ada teror. Maksudnya? Tekanan tidak
resmi supaya saya mencabut gugatan.

Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan teror,
melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti yang ada pada diri
Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia
itu. Namun apakah yang telah terjadi?

Pagi ini, Selasa 7 April 1998, sekitar pukul 10.00. Dua
orang telah melakukan tindakan "maling" di rumah orangtua saya di Bulaksumur.
Di rumah hanya ada dua orang waktu itu, saya dan ayah saya. Saya membaca
di dalam kamar dan ayah saya sibuk menerima telepon. Pembantu rumah tangga,
Yuni, sedang ke toko membeli kopi.

Ketika Yuni datang, ada seseorang berdiri di pintu samping.
Yuni terus masuk karena dia pikir barangkali tamu. Di dalam, ternyata sudah
ada orang lain yang tak dikenalnya menjinjing sesuatu. Yuni langsung masuk
ke kamarnya dan ternyata kamarnya itu sudah berantakan dan terobrak-abrik.
Tas Yuni terletak di bawah, Yuni langsung memeriksa. Ternyata uang Rp 125.000
dan kalung emas sudah hilang. Yuni langsung berteriak-teriak. Saya meloncat
keluar. Bersama Yuni saya mengejar keluar. Yuni menunjuk orangnya yang
tadinya berjalan tenang-tenang dan langsung lari. Saya berteriak "Maling!
Maling!" dan banyak orang mengejar.

Kedua orang itu langsung meloncat naik bus Kobutri dari
arah Jalan Kaliurang ke selatan. Saya dan orang-orang tidak melanjutkan
pengejaran karena Yuni tergelimpang di tepi jalan sambil menangis
menjerit-jerit.
Kami menolongnya. Yuni kemudian pingsan.

Terus terang saya merasa terteror. Setelah siuman Yuni
menangis terus menerus. Kedua orang itu tampak necis, yang satu mengenakan
baju batik lengan panjang malah, dan rambutnya cukuran bros. Saya berdoa
sesungguh-sungguhnya, bahwa kedua orang ini maling beneran. Yang sudah
cukup puas dengan kalung emas dan uang Rp 125.000. Kalau ini hanya
maling-malingan,
apakah saya akan kuat menghadapinya? Rumah itu hanya berpenghuni dua orang
tua, masing-masing berusia 78 dan 76 tahun, bersama Yuni dan anak saya.
Apakah saya harus mengerahkan orang-orang untuk berjaga 24 jam?

Saya tidak menuduh, tidak melakukan insinuasi, dan sungguh-sungguh
percaya kepada jiwa ksatria aparat keamanan -- kecuali yang terbukti melakukan
penganiayaan.

Saya menulis surat terbuka karena saya merasa tidak berdaya,
sendirian, seolah-olah menghadapi ancaman dari langit. Benarkah saya harus
mencabut gugatan saya? Bagaimana tanggung jawab saya terhadap hidup saya
kalau saya tidak melakukan kewajiban yang harus dijalankan seorang bapak?
Lantas bagaimana dengan jaminan keselamatan saya dan keluarga saya?

Surat ini adalah surat terbuka kepada siapa saja yang
memiliki akal sehat, hati nurani, dan secuil nyali. Saya sendiri tidak
terlalu yakin dengan besar kecilnya nyali saya. Tapi benarkah saya harus
mundur tanpa mendengar nada maaf dan penyesalan? Saya hanya memberi kesempatan
institusi militer untuk melakukan sikap terhormat. Apakah saya salah? Apakah
saya keliru? Kawan-kawan dari LBH mengatakan tidak. Suara hati saya juga
mengatakan tidak. Saya ingin mendengar pendapat Anda.
(Seno Gumira Ajidarma)

Surat tersebut menunjukkan kegelisahan batin dan pikiran terkait dengan kondisi kemanusiaan yang dilecehkan oleh pola militerisme. Sebagai penguat anggapan ini, Mohamad Sobary, 2002, berpendapat, “Fungsi kepujanggaan Seno memang mewakili perasaan maupun aspirasi kita. Sekarang kita sedang berada dalam gelap, dan Seno berteriak tentang kegelapan itu, dan kita pun dibikinnya lebih sadar secara politik bahwa kegelapan merupakan hasil sebuah proses sejarah, dan kita pun tahu, sejarah – dulu dan sekarang – selalu dan selalu merupakan hasil rekayasa kaum elite untuk melindungi kepentingan mereka. Dan kita tertipu terus-menerus.”
Karena SGA seorang wartawan, kegelisahan ini diikuti dengan proses hunting, baik mencari data dari narasumber maupun sebagai saksi mata, dan mengolahnya sebagai karya yang kontemplatif. Proses kreatif ini mengingatkan kita kepada banyak karyanya yang lain, misalnya, ‘Tujuan: Negeri Senja’ dan Saksi Mata. Demi Saksi Mata, SGA memotret langsung di Timor Timur.
Kerangka Kalatidha adalah kemanusiaan. Meskipun cenderung membela ‘komunis’ yang dilecehkan kemanusiaannya, Kalatidha tidak menjadi pendagingdarahan faham. Kalatidha tidak terjatuh ke dalam propaganda faham atau aliran filsafat. Posisi ‘komunis’ di sini sama dengan warga Timor-Timur, demonstran, murid, seniman, istri, pacar, wartawan, dan lain-lainnya dalam karyanya yang lain.
Meskipun menebar kegelisahan dalam diri, SGA tidak lantas menjadi kreator dalam kamar yang murni mengandalkan ilham dan kontemplasi, kemudian mereka-rekanya menjadi sebuah cerita yang mengharu biru. Selain hunting dan memotret langsung, terkadang dia menggali dari sumber-sumber lain. Bahkan Kalatidha ini, meskipun bersumber pada ide cerita Nugroho Suksmanto, beberapa adegan merupakan deskripsi dramatis Serat Kalatidha-nya Ranggawarsito.
Dasar karoban pawarta
bebaratun ujar lamis
pinudya dadya pangarsa
wekasan malah kawuri
yen pinikir sayekti
mundhak apa aneng ngayun
andhedher kaluputan
siniraman banyu lali
lamun tuwuh dadi kekembanging beka
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)

Persoalannya hanyalah karena
kabar angin yang tiada menentu
akan ditempatkan sebagai pemuka
tetapi akhirnya sama sekali tidak benar
sebenarnya kalau direnungkan
apa sih gunanya menjadi pemimpin
hanya akan membuat kesalahan-kesalahan
lebih-lebih bila ketambahan lupa diri
hasilnya tidak lain hanyalah kerepotan
(Serat Kalatidha, Raden Ngabehi Ranggawarsito)

Bait dalam Serat Kalatidha tersebut dideskripsikan dengan sangat dramatis di dalam Kalatidha-nya Seno Gumira Ajidarma. Berdasar pada serat tersebut tampak bahwa sumber permasalahan adalah kabar yang tidak sepenuhnya jujur. Pemimpin yang lupa diri menggunakan kabar sebagai senjata untuk meraih atau memperkokoh kekuasaan. Oleh karena itu tak mengherankan kalau SGA mengutipkan sebanyak 22 berita dari koran yang beredar pada era akhir Soekarno dan fase pemberantasan ‘komunis’, yang didominasi surat kabar Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha, serta beberapa dari Bintang Timur dan Kompas. Berita dari rezim tersebut selanjutnya menggerakkan aparat dan masyarakat untuk melangsungkan serangkaian pembasmian dan teror.
Pemunculan masalah dalam alur Kalatidha adalah keperkasaan kabar sebagai legitimasi penghakiman: anggota PKI atau bukan. Secara spesifik permasalahan muncul karena tersiar kabar bahwa terdapat ‘komunis’ di dalam sebuah keluarga. Rumah dibakar, seisi rumah dibantai, bahkan kedua anak perempuan kembar keluarga itu pun jadi korban: 1 meninggal dan 1 gila.
Sebagai penguat ilustrasi, selain pelecehan kemanusiaan yang terentang sepanjang alur utama, banyak dilaporkan pelecehan kemanusiaan yang lain, misalnya,
Aku mendekati mereka (mantan tahanan politik, Penulis), kutawarkan penampungan di rumahku. Di sanalah mereka bercerita.
“Saya tidak tahu apa-apa sebenarnya soal Gestapu. Saya memang anggota Cakrabirawa dan kenal Untung—tapi apa salahnya kalau saya kenal Untung? Hampir setiap hari sebelum diberangkatkan ke Pulau Buru saya disiksa dan disuruh mengaku. Saya tidak tahu harus mengaku apa dan kalaupun tahu kenapa saya harus mengaku? Katanya saya mengetahui rencana penculikan dan pembunuhan para jenderal. Tentu saja saya tidak tahu. Setiap hari punggung saya ditetesi lelehan ban sepeda yang dibakar. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Seabagai anggota pasukan pengawal istana, saya bukan tidak dilatih untuk menahan penderitaan, yang saya tidak mengerti bagaimana orang-orang militer ini tahu betul berbagai cara penyiksaan.
.............
“Karena segala siksaan takkan bisa membuka mulut saya, mereka gunakan lain cara yang tidak pernah saya bayangkan ada. Saya masih ditindih ketika pengecut lain datang membawa seorang tahanan wanita. Ia sedang hamil dan katanya ia Gerwani. Saya harus melihat bagaimana ia ditelanjangi dan kakinya dibuka paksa, agar sangkur pada bayonet bisa dimasukkan ke kemaluannya. Saya lihat sangkur itu sudah berdarah ketika darah saya naik dan suatu kekuatan luar biasa mendadak merasuki saya, meja itu berhasil saya balik dan menyungkurkan empat pengecut yang sejak tadi ongkang-ongkang sambil tertawa.
“Saya berdiri dan meninju pemegang bayonet itu sampai pingsan. Wanita malang itu sudah sejak tadi pingsan. Saya kemudian tak tahu apa yang terjadi karena sebuah pentungan dari belakang juga membuat saya pingsan...
(Kalatidha, 2007, halaman 62)

Seperti disebutkan di atas, banyak ilustrasi penguat alur utama. Bahkan bisa dikatakan novel ini lebih banyak mewartakan kisah maupun sketsa nonalur utama. Alur utama sebenarnya simpel: keluarga dibantai, menyisakan satu putri gila – putri gila dijadikan objek giliran perkosaan rutin di rumah sakit jiwa – saudara kembar putri gila yang mati arwahnya merasuk ke dalam raga si putri gila – si putri gila jadi heroine sakti – pembalasan dendam.
Tokoh aku dalam novel ini pun tidak terkait langsung dengan alur utama. Hubungannya dengan pendekar putri sekadar secret admirer sejak masih bocah, sejak si pendekar belum dilanda musibah kezaliman.
Posisi ‘tokoh aku’ sebatas pewarta. Posisi ini sangat aman karena dia bisa melaporkan segala bentuk kegilaan dan paradoksitas dalam rentang zaman. Tetapi karena kebebasan mewartakan ini, Kalatidha lebih menyerupai kumpulan cerpen daripada novel. Hubungan antarbab dalam novel sangat dipaksakan. Kondisi ini didukung kenyataan bahwa Seno Gumira Ajidarma lebih dikenal sebagai raja cerpen Indonesia modern daripada novelis. Dengan kata lain, jika dikirimkan, ada beberapa bab dalam novel ini -- yang penulis yakin -- dapat dimuat di media massa patron sastra serius skala nasional.
Fungsionalitas masing-masing kisah perangkai novel ini sangat longgar: kisah ‘tokoh aku’, catatan Joni Gila, kisah kakak ‘tokoh aku’, negeri cahaya, pawai cahaya, dan lain-lain. Masing-masing kisah dapat menjadi satu cerita yang solid.
Atribut yang berdesak-desakan di pundak SGA menyebabkan celah kemungkinan terjadinya kondisi di atas. Seno Gumira Ajidarma yang pada usia 17 tahun puisinya sudah dimuat di Horizon, adalah sosok ‘petualang’, wartawan, fotografer, cerpenis, kritikus film, dramawan, dan dosen matakuliah Kajian Media di FFTV Institut Kesenian Jakarta dan Kajian Sinema di Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Selain atribut di atas, SGA adalah sosok penggemar komik Indonesia, misalnya Djair, Ganes Th, Jan Mintaraga, Teguh Santosa, Wied NS, Hasmi, R.A. Kosasih, dan Hans Jaladara. Bahkan gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dia peroleh setelah berhasil mempertahankan disertasinya dalam sidang terbuka Senat Akademik UI berjudul Tiga Panji Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan. Bertindak sebagai promotor Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, dengan kopromotor Dr. Melani Budianta dan Dr. Rahayu S. Hidayat. Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Primadi Tabrani (Dosen Seni Rupa ITB), Dr. Ignas Kleden, Dr. Lilawati Kurnia dan Prof.Dr. Toeti Herati Noerhadi. Kecintaannya kepada komik ini selain mengantarnya mendapat gelar doktor juga memberi sumbangan kekayaan dalam menulis cerita. Hal ini tampak pada beberapa karyanya, tak terkecuali Kalatidha ini.
Putaran pertama mengubah busana pasien rumah sakit jiwanya dengan busana seorang perempuan pendekar berbaju pangsi dan celana tiga per empat gombrong yang terbayangkan akan mampu melenting dari genting ke genting. Putaran kedua memberikan cahaya dan daya ke dalam tubuhnya sehingga segenap luka serta segala dampak keteraniayaannya di rumah sakit jiwa bagaikan sama sekali tiada berbekas. Putaran ketiga mendandaninya menjadi perempuan indah tiada tara dengan ikat kepala yang merapikan rambut panjang ikal mayangnya, selendang terikat di pinggang yang menunjukkan kelangsingan dan kerampingan tubuh perkasanya, lengkap dengan alas kaki yang terikat tali temali kulit melingkar dan menghiasi betis terindah yang pernah kulihat. Putaran keempat memberinya perlengkapan sejumlah senjata yang melekat dengan segala warangka di tubuhnya, mulai dari dua pedang panjang yang saling bersilang di punggung, dua belas pisau terbang dalam sabuk, yang melingkari pinggang, dua bilah kapak tergantung di pinggang kiri dan kanan.
(Kalatidha, 2007, halaman 105-106)
Deskripsi di atas tak pelak mengingatkan kita kepada pendekar wanita kreasi Djair, Jan Mintaraga, Ganes Th, dan Hans Jaladara. Deskripsi di atas diikuti serangkaian sepak terjang indah si pendekar wanita dalam membunuh ratusan peleceh kemanusiaan, yang sungguh mampu membangkitkan kenangan indah kita kepada zaman keemasan komik asli Indonesia.
Akan halnya citra tokoh utama dalam cerita ini, seperti digambarkan dalam kutipan di atas, sungguh elok. Seperti kita ketahui, sebagian besar wanita dalam karya SGA memang indah, misalnya Linguae, Dunia Sukab, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Anggapan ini didukung pengakuan SGA.
Penamaan tokoh maupun seting sesederhana citra tokoh di atas. Nama tokoh utama maupun pendukung utama tidak disebutkan. Cukup ‘aku’, ‘gadis kecil’, dan ‘perempuan gila’. Tokoh yang bernama adalah tokoh pembantu atau beberapa tokoh yang porsi perannya relatif kecil, misalnya Joni si Malin Kundang, Ranuwisid, Bu Haroen, Bu Sam, dan Si Puss. Seting tempat demikian juga, seperti kutipan berikut ini.
Di barat daya kota S terdapatlah daerah P. Nama ini berasal dari kata F, tuan tanah Belanda penguasa wilayah itu di masa lalu. Di seberang P terdapat hamparan ladang pertanian, di antara P dan ladang ini terdapatlah M, wilayah yang dimaksudkan sebagai pembatas nan rapi, tetapi setelah ditinggalkan Belanda menjadi daerah tak bertuan. Ke wilayah itulah berdatangan para pendatang dan berubahlah M yang berkelok memanjang itu menjadi padat tak terkendali.
Semasa kecil aku tinggal di P dan sungai yang memisahkan P dan M menjadi wilayah pengembaraanku.
........
(Kalatidha, 2007, halaman 9-10)
Bagian pemaparan seting tersebut sebenarnya sangat penting, karena dengan penyebutan nama seting yang lebih spesifik, pembaca dapat lebih membayangkan detail seting. Tetapi, begitulah, di tangan SGA penamaan hanya disingkat sedemikian rupa. Penyepelean nama ini diakui SGA dalam catatannya tentang Dunia Sukab, 2001, “Padahal dalam fiksi pun Sukab bukanlah nama seorang tokoh. Sukab hanyalah sembarang nama yang saya pasangkan kepada setiap tokoh, sekadar karena saya malas “mengarang”, menyesuai-nyesuaikan nama dengan karakter tokoh supaya meyakinkan dan lain sebagainya. Setiap kali saya kesulitan mencari nama, saya pasang saja nama Sukab. “Toh, sama-sama fiktif ini,” pikir saya, “kenapa harus susah-susah cari nama?”
...............
Tapi apalah artinya sebuah nama? Judul-judul, nama-nama, kata-kata, semuanya berbaur dalam berbagai peristiwa, membentuk dunia kita.......”
Memang, berdasar sedikit ulasan di atas tampak bahwa Seno Gumira Ajidarma dalam Kalatidha kurang tekun untuk menggarap sisi fungsionalitas alur, seting, dan penokohan. Sehubungan dengan alur, seperti karya SGA yang lain, Linguae, misalnya, dia tidak memilih resep pada umumnya penulis prosa yang memulai cerita dengan elemen pengerut kening dan mengakhiri dengan jurus penggedor hati. Meskipun demikian, Kalatidha tidak lantas menjadi karya sastra masygul karena punya pelunasan di dimensi lain. Andalan tersebut kembali ke jatidiri Seno yang petualang, wartawan, fotografer, kritikus film, dan dosen. Karena unsur pembentuk Seno cukup variatif, karyanya pun demikian. Variasi unsur pembentuk tersebut menghasilkan keelokan gaya cerita, kekayaan bahan tulisan, dan pertanggungjawaban ilmiah. Berbekal, minimal, tiga kepiawaian di atas, tema umum yang dipilih dalam Kalatidha, kemanusiaan, tersajikan.
Banyak pengamat berpendapat bahwa gaya bercerita SGA sangat elok. Keelokan ini membentuk sebuah lanskap yang di dalamnya terdapat berbagai suasana hati, situasi, dan misi yang masing-masing memiliki keelokan yang khas. Dengan kata lain, keelokan itu bisa menggelikan, menyedihkan, mengesankan, menggelisahkan, meromantiskan, atau memualkan. Seperti karya-karyanya yang lain, Kalatidha menunjukkan keelokan itu. Banyak bagian cerita tersaji dengan puitis, kontemplatif, dan mengendap di dalam, misalnya pada bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’, ‘Masih Sekitar Hutan Bambu’, ‘Pawai Cahaya’, ‘Negeri Cahaya’, dan ‘Sang Mata di Tepi Pantai’. Berikut sedikit kutipan dari bagian ‘Kabut di Hutan Bambu’.
Pada mulanya memang kabut, masih akan selalu kabut, dan sebaiknya memang tetap saja kabut, kabut, dan kabut, yang kekelabuannya tiada pernah dan tiada perlu memberikan sesuatu yang jelas. Apalagi yang menarik dari hidup ini jika segala sesuatu sudah begitu jelas dan begitu pasti? Aku adalah anak kabut, dilahirkan oleh kabut, hidup di dalam kabut, dan atas nama kabut kupertaruhkan hidup dan matiku, pahit dan manisku, suka dan dukaku, kebahagiaan dan kepahitanku, kehidupan dan kematianku dalam segala kemungkinan yang telah diciptakan Tuhan untuk dijelajahi olehku. Kabut adalah duniaku – dalam kabut itulah aku mengembara dan menjelajahi seribu satu kemungkinanku.
(Kalatidha, 2007, halaman 2)
Potret tentang kabut yang mengingatkan kita kepada Al Quran 41:11 dan Perjanjian Lama, Kitab Kejadian ayat 2, tersaji penuh kontemplatif. Bersandar pada kabut dia memercikkan permenungan yang masuk pada dimensi religiositas tentang hidup. Hidup jadi indah karena mengandung suspense berwarna abu-abu. Tidak putih, tidak hitam, tetapi ketegangan di antara keduanya. Permenungan ini mirip dengan, “Saya sendiri tidak tahu apakah salat saya yang notabene menyembah Allah itu diterima atau tidak. Puasa saya apakah diterima atau tidak. Justru keindahan beragama itu ada pada ketiadaan kepastian bahwa ibadah kita diterima atau tidak.” (Mohamad Sobary, Jaringan Islam Liberal 2006)
Kepiawaian untuk memberi roh pada objek itu dipadu dengan keelokan lain yang lebih ekspresif dan liar, misalnya pada bagian ‘Catatan Joni Gila 1’, ‘Catatan Joni Gila 2’, dan ‘Catatan Joni Gila 3’. Berikut sedikit kutipan yang menguatkan anggapan di atas.
Kulihat tembok putih. Apakah aku hanya mengira melihat perempuan yang membalas dendam itu, ataukah ia memang benar-benar telah kulihat tetapi segera melenyapkan diri? Kalau sudah begini kadang-kadang aku merasa diriku benar-benar gila. Terlalu banyak yang kulihat dan terlalu banyak yang kudengar dan tidak bisa kupastikan apakah itu semua bayanganku saja ataukah memang nyata. Belut goreng. Namun meski cuma bayangan aku bisa merasa tergila-gila kepada perempuan yang kubayangkan tampak begitu indah terbang di udara malam seperti kelelawar, yang hanya turun untuk mencabut nyawa orang sebagai hukuman. Orang gila sibuk dengan pikirannya sendiri dan hidup di dunianya sendiri? Gooooooooooollllllllllll! Gooolll! Ning-nong-ning-ning!
(Kalatidha, 2007, halaman 149)

Gaya cenderung semau gue tersebut muncul karena tuntutan situasi kegilaan. Pada bagian lain keelokan berubah total sesuai tuntutan situasional, misalnya pada bagian ‘Utopia Ketiadaan’.
Tiada kutemukan diriku yang terleburkan dalam cahaya – hanya gagasan tinggal bertahan dalam belantara impian yang tiada pernah terlepaskan. Gagasanku pecah, tersebar ke segala arah, seperti materi yang meledak jadi semesta, gagasan yang meledak dalam kesunyian, dan segala serpihan berubah jadi gambaran. Beterbangan dan melayang, segenap semesta penuh sesak dengan angan-angan. Wajah-wajah yang kukenal, wajah-wajah yang tak kukenal, makhluk-makhluk yang kukenal, makhluk-makhluk yang tak kukenal, orang-orang yang masih hidup, orang-orang yang sudah mati, arwah-arwah tanpa ujud, suara-suara, hanya suara-suara, bunyi-bunyi, dan bunyi-bunyi lagi, tenggelam dalam kesunyian...
(Kalatidha, 2007, halaman 177)

Gaya eksposisi diri yang puitis di atas atmosfernya mirip paparan suluk di jagat pedalangan. Hal ini dimungkinkan karena, meskipun sering menulis tentang metropolitan dan dunia lux, wawasan pewayangannya cukup kaya. Kebetulan juga SGA sangat mengidolakan R.A, Kosasih, kreator komik spesialis wayang. Gaya ini mengingatkan kita kepada cerpennya ‘Ngesti Kurawa’ dalam Manusia Kamar, 1988.
Dari sisi kandungan makna, kutipan paragraf di atas sungguh bernas. Mau tak mau, untuk menggali makna, kita akan terhubung ke "Apakah orang-orang yang tidak beriman itu tiada mengetahui, bahwa langit dan bumi itu dahulunya satu potong, lalu kami ceraikan antara keduanya, dan Kami jadikan dari air segala benda hidup. Tidakkah mereka percaya?" (Al Quran 21:30). Firman ini ‘kebetulan’ sesuai dengan Big Bang Theory yang popular di kalangan astronom modern tentang terjadinya bumi dan jagat raya.
Khasanah bahan penciptaan novel ini sangat kaya. Selain sedikit kutipan di atas, bahan pembentuk novel yang lain tampak dari banyaknya surat kabar lama, tuturan narasumber mantan tahanan dari Pulau Buru, nuansa komik, lagu Chuck Berry, potret seting yang apik, dan lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David.
Meskipun bahan penulisan sangat kaya, meskipun karya fiksi, pertanggungjawaban ilmiahnya sangat baik. Banyak karya SGA (pada umumnya cerpen) disertai dengan footnote, meskipun kutipannya hanya sebatas objek kecil, kalimat, klausa, maupun frase. Pertanggungjawaban ilmiah ini juga tampak sekali pada Kalatidha: nama pemberi ide cerita dituliskan, koran-koran dikutipkan teks aslinya, lukisan Kematian Marat karya Jacques-Louis David, lagu Johnny B. Goode-nya Chuck Berry, dan biografi Chuck Berry dicantumkan dalam lampiran. Alternatif kreatif sastra semacam ini sangat langka di Indonesia. Kenyataan ini tidak lepas dari sosok Seno Gumira Ajidarma yang berprofesi sebagai dosen.
Sebagai kritikus film, referensi filmya sangat kaya, ada beberapa adegan yang mengingatkan kita kepada beberapa film, misalnya film musikalnya Alan Parker, The Wall dan Dead Poets Society-nya Peter Weir. Adegan ‘tokoh aku’ ketika di kelas menggambar palu arit kebetulan mirip dengan adegan dalam The Wall, seorang anak yang dipukul tangannya oleh gurunya gara-gara saat pelajaran malah menulis puisi. Tetapi kalau dianggap adegan dalam Kalatidha merupakan jiplakan film bernas tersebut memang terlalu serampangan, karena track record SGA saat sekolah – sebelum film itu dibuat -- memang sangat anti kejumudan, penyeragaman, dan kekakuan. Mungkin lebih tepat dikatakan, referensi, karakter diri, dan ilham merupakan silang sengkarut mozaik pewarna karya.
Sungguh, seperti Keating dalam Dead Poets Society yang menyuruh murid-muridnya menyobek ‘Introduction of Literature’ Pritchard yang analitis matematis, dan melemparkan sobekan-sobekan tersebut ke keranjang sampah, demikian juga adanya menghadapi Kalatidha. Berbekal pisau bedah analisis prosa saja, akan pejal. Seperti kita mafhum, kepejalan pisau bedah ini telah membebaskan karya sastra dari kemurungan, dan membebaskannya terbang sebagai karya sastra.*** (April 2008, Bengkel Panama SMP 5 Jogja)



Daftar Pustaka
Alkitab.1975. Jakarta: The Gideons.

Alquran dan Terjemahannya. 1994. Jakarta: Departemen Agama RI.

Ajidarma, Seno Gumira. 1988. Manusia Kamar. Jakarta: CV Haji Masagung.

------------------------- . 2001. Dunia Sukab. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

------------------------- . 2002. Sebuah Pertanyaan untuk Cinta. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

------------------------- . 2002. Sepotong Senja untuk Pacarku. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

------------------------- . 2002. Surat dari Palmerah: Indonesia dalam Politik Mehong: 1996-1999.
Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.

------------------------- (ed). 2003. Dua Kelamin bagi Midin. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

------------------------- . 2004. “Aku Kesepian, Sayang” “Datanglah, Menjelang Kematian”. Jakarta: PT Gramedi

Pustaka Utama.

------------------------- . 2007. Kalatidha. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

------------------------- . 2007. Linguae. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Eneste, Pamusuk (ed). 1982. Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Jakarta: PT Gramedia.

Mohamad, Goenawan. 2007. Tuhan & Hal-hal yang Tak Selesai. Jakarta: Katakita.

Nurhan, Kenedi (ed). 1999. Derabat. Jakarta: Harian Kompas.

Panama, April 2008, SMP 5 Yogyakarta.

Purwadi (et al.). 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Bina Media.

Pusat Data dan Analisa Tempo. 2004.

Sobary, Mohamad. 2006. Iman Itu untuk Manusia, bukan Sebaliknya. Jakarta: Jaringan Islam Liberal.

Sudjiman, Panuti (ed). 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.

Sumukti, Tuti. 2005. Semar: Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galangpress.



Pembelajaran Bahasa Indonesia


Sebuah Alternatif untuk Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Bahasa Indonesia

Y. Niken Sasanti

Pembelajaran Bahasa Indonesia Gagal?
Ada asumsi yang megatakan bahwa pembelajaran bahasa (Indonesia) selama ini dianggap gagal karena (1) lebih mementingkan teori kebahasaan dan kesusastraan daripada praktik berbahasa, (2) evaluasi mementingkan aspek kognitif, (3) strategi pembelajaran cenderung monoton, dan (4) bahan pembelajaran cenderung seragam dan bersumber pada satu buku teks. Tentunya kita tidak boleh percaya begitu saja pada asumsi itu sebelum dibuktikan kebenarannya melalui penelitian. Jika pembelajaran bahasa Indonesia dkatakan gagal, apa indikator kegagalannya? Demikian pula apa yang menjadi indikator keberhasilan suatu pembelajaran bahasa?
Indikator keberhasilan atau kegagalan pembelajaran bahasa untuk tiap-tiap jenjang pendidikan tentunya berbeda-beda. Untuk siswa Sekolah Dasar, misalnya, akan dikatakan berhasil dalam pembelajaran bahasa apabila seluruh kompetensi dasar yang ditetapkan dalam kurikulum sekolah dapat dicapai. Selain itu, siswa SD juga harus mencapai standar kompetensi lulusan (SKL) yang telah ditetapkan. Demikian pula siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dikatakan berhasil dalam pembelajaran bahasa apabila siswa tersebut dapat mencapai seluruh kompetensi dasar maupun SKL yang telah ditetapkan pada masing-masing kurikulum jenjang pendidikan tersebut. Di Perguruan Tinggi, pembelajaran bahasa dikatakan berhasil apabila lulusan mampu mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Selain itu tolok ukur keberhasilan pembelajaran di Perguruan Tinggi juga dapat dilihat dari kemampuan lulusan membuat karya tulis ilmiah, berbicara dalam forum ilmiah, maupun mempraktikkan kegiatan kebahasaan sesuai dengan tuntutan dunia kerja. Apakah dengan melihat indikator keberhasilan dan kegagalan pembelajaran bahasa itu lantas kita dapat berasumsi bahwa pembelajaran bahasa selama ini dikatakan gagal? Yang jelas, belum ada hasil penelitian yang dipublikasikan secara luas.

Perubahan Kurikulum dan Pendekatan Pembelajaran Bahasa
Karena ada asumsi bahwa pembelajaran pada umumnya dan pembelajaran bahasa pada khususnya gagal, maka pemerintah menyikapinya dengan mengadakan perubahan kurikulum. Perubahan kurikulum ini dimaksudkan agar orientasi pembelajaran juga berubah sehingga ada peningkatan kualitas pembelajaran. Selain itu, kurikulum diubah untuk memenuhi tuntutan perubahan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan kebutuhan dunia kerja dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selama ini kita telah mengenal beberapa kurikulum yang sudah pernah diberlakukan di Indonesia, yaitu (1) Kurikulum 1975, (2) Kurikulum 1984, (3) Kurikulum 1994, dan (4) Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, dan yang sekarang ini sedang berlaku yaitu (5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, dan Kurikulum 1994 masih berorientasi pada materi, sedangkan Kurikulum 2004 dan KTSP berorientasi pada pencapaian kompetensi. Dalam bidang pembelajaran bahasa, pada Kurikulum 1975 dan 1984 materi disusun secara terpisah-pisah. Penyampaiannya juga terpisah-pisah. Misalnya tata bahasa diajarkan sendiri, kosa kata juga diajarkan sendiri, sastra juga diajarkan sendiri. Dalam Kurikulum 1994 pembelajaran bahasa dilakukan secara integratif berpayung pada tema tertentu, namun masih structural oriented.
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam Kurikulum 2004 (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), materi pembelajaran bukanlah yang utama. Materi pembelajaran digunakan untuk mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Maka, yang penting bukan banyaknya materi pembelajaran, melainkan tingkat kedalaman suatu materi pembelajaran. Dalam pembelajaran bahasa, kompetensi yang harus dikuasai siswa diklasifikasikan menjadi empat macam sesuai dengan empat macam keterampilan berbahasa, yaitu (1) mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, sedangkan pembelajaran sastra inklusif pada keempat keterampilan berbahasa tersebut.
Sejalan dengan perubahan kurikulum, di sisi lain muncul pemikiran-pemikiran baru mengenai pendekatan pembelajaran, strategi pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, maupun model-model pembelajaran. Selama ini, pendekatan komunikatif dipandang cukup efektif digunakan dalam pembelajaran bahasa. Selain itu, dewasa ini juga muncul bermacam-macam pendekatan yang berbasis pada konstruktivisme. Pendekatan yang berbasis konstruktivisme antara lain (1) pendekatan kontekstual, (2) pendidikan keterampilan hidup (life skill), (3) pendekatan CBSA, (4) pendekatan inkuiri, (5) pendekatan problem solving, (6) pendekatan proses, (7) pendekatan kuantum, (8) pengajaran autentik, (9) pendekatan kooperatif, dan (10) pendekatan berbasis kerja. Pendekatan konstruktivisme yang mendasari pendekatan-pendekatan di atas dipandang dapat digunakan sebagai landasan pemikiran untuk membaharui praktik pembelajaran secara menyeluruh.
Karakteristik pendekatan konstruktivisme dapat dikemukakan sebagai berikut (lihat Suparno, 1997). Siswa adalah subjek belajar. Siswalah yang menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar. Tugas guru adalah menyelenggarakan pembelajaran bagi siswa. Guru membantu siswa agar dapat belajar secara aktif dan terarah. Tujuan belajar adalah agar siswa berkembang kompetensinya, yaitu menguasai pengetahuan dan keterampilan sebagai jalan untuk mengembangkan pribadinya secara utuh sebagaimana disebutkan dalam empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do, learning to live with others, dan learning to be). Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan aktif yang dilakukan oleh siswa. Kegiatan belajar bukanlah kegiatan mentransfer pengetahuan yang dilakukan guru. Bahan ajar hanyalah merupakan sarana untuk mencapai kompetensi. Bahan ajar harus dipelajari secara terfokus-integratif. Guru bukanlah sumber belajar satu-satunya. Sumber belajar adalah lingkungan yang dapat menjadi unsur kegiatan belajar (guru, siswa lain, pengalaman, buku, media elektronik, alam, masyarakat, dan sebagainya). Evaluasi pembelajaran tidak hanya diukur dari hasil ujian, melainkan juga dari proses belajar. Kegiatan pembelajaran diikuti dengan refleksi guru maupun siswa.

Model Pembelajaran Apa yang Paling Baik?
Munculnya pendekatan baru diikuti pula dengan munculnya model-model pembelajaran bahasa yang sesuai dengan pendekatan tersebut. Lalu model pembelajaran yang mana yang paling sesuai untuk pembelajaran bahasa Indonesia? Karena pembelajaran bahasa bertujuan untuk mengembangkan kompetensi kebahasaan, maka model pembelajaran yang dipilih ditentukan berdasarkan kompetensi yang hendak dicapai. Sebagai contoh, bila kompetensi dasar yang hendak dicapai adalah siswa dapat menulis puisi berdasarkan pengalamannya, maka lebih cocok digunakan model pembelajaran menulis yang berdasarkan pengalaman (experience based learning). Dalam pembelajaran ini tidak cocok digunakan cooperative based learning, misalnya, walaupun model pembelajaran ini bagus juga. Hal ini dikarenakan dalam pembelajaran menulis puisi ditujukan untuk lebih mengembangkan kemampuan individual siswa. Model pembelajaran cooperative based learning lebih cocok digunakan untuk pembelajaran drama, misalnya, karena dalam pembelajaran drama ada pengembangan aspek kerja sama. Dengan demikian tidak dapat dikatakan model pembelajaran yang satu lebih bagus dibanding model pembelajaran yang lain. Hal ini tergantung pada kompetensi yang hendak dicapai.

Sikap, Posisi, dan Peran Guru
Bagaimana sikap, posisi, dan peran guru agar ada peningkatan kualitas pembelajaran bahasa? Guru diharapkan mau memahami, merespon, dan mengimplementasikan perubahan pendekatan dalam pendidikan secara umum maupun dalam pembelajaran bahasa pada khususnya. Misalnya, pada dasawarsa ini diperkenalkan berbagai macam pendekatan baru, antara lain pendekatan komunikatif, pendekatan konstruktivistik, teori multiple intelegence, pendekatan integratif, dan sebagainya. Terhadap pendekatan-pendekatan tersebut, guru berusaha memahami kemudian memilih kemungkinan-kemungkinan pendekatan yang dapat membaharui praktik pembelajarannya di kelas.
Berdasarkan sikap di atas, guru memiliki posisi strategis dalam pembaharuan proses pembelajaran. Hal ini disebabkan, gurulah yang merancang dan mengelola praktik pembelajaran bagi siswanya, mulai dari tahap persiapan pembelajaran, tahap pelaksanaan pembelajaran, tahap evaluasi pembelajaran, maupun tahap refleksi pembelajaran. Dengan demikian gurulah yang menentukan berkualitas atau tidaknya hasil belajar siswa.
Dalam posisinya sebagai perancang dan pelaksana praktik pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator (yang memfasilitasi) proses pembelajaran yang dilakukan siswa. Peran fasilitator menunjukkan bahwa guru berkewajiban menciptakan kondisi yang mendukung siswanya agar aktif belajar. Dalam hal ini siswalah yang aktif dalam belajar. Siswalah yang menjadi pusat belajar (learner centre). Guru dalam melakukan kegiatan pembelajaran haruslah memberikan pengalaman belajar kepada siswa. Contohnya, agar siswa memiliki kompetensi dapat membuat surat undangan, siswa harus belajar melalui pengalamannya sendiri membuat surat undangan. Tugas guru adalah menjelaskan seluk beluk surat undangan dan memberikan contoh serta mengoreksi pekerjaan siswa.

Apa yang Bisa Dilakukan Guru?
Lalu, apa yang harus dilakukan guru agar tercapai keberhasilan pembelajaran bahasa? Ada beberapa hal yang dapat dilakukan seorang guru. Pertama, guru tetap mengikuti perkembangan pendekatan dalam pendidikan. Kedua, guru merespon secara positif kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Ketiga, guru selalu membahrui proses pembelajarannya di kelas sesuai dengan perkembangan, baik dalam perancangan maupun pelaksanaan pembelajaran. Keempat, guru tidak boleh stagnan, melainkan perlu memiliki sikap kritis dalam merespon perkembangan dalam dunia pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Delors, Jacques, et.all. 1998. Learning: The Treasure Within. Paris: UNESCOS
Publishing.

Sarkim, T. 2005. “Pendidikan Calon Guru Menghadapi Tantangan Pembaharuan Metode
Pengajaran”. Dalam Paul Suparno dan V. Triprihatmini (Eds.). Pendidikan
Manusia Indonesia yang Etis dan Terbuka. Yogyakarta: Penerbit Universitas
Sanata Dharma. Halaman 107-126.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.