Jumat, 10 Oktober 2008

Puisi: Kencan di debur ombak

Mencari

Hangat mentari gamit langkah setia
embun berkarat sapa sahabat
sunyi menapak kabut kaca jendela
tik tak jam sepi di ujung pelatnya.

Berloncatan kata dari bibir senjamu
berdesing panah-panah kecil
menghunjam perawan jantungku
melayari palung benakku
menggulung ombak gelisahku.

Kaurengkuh aku ke tempat-tempat terjauh
berenang dalam mata teduh
hidup itu indah, katamu
sementara batas usia membeku
dalam gumpalan waktu.

Aku cuma seorang bocah kecil
menyusu hati beningmu
Aku cuma seranting benalu
menghisap harum darahmu
Aku cuma sesunyi sepi
meniti tebing telaga usiamu.

Bengkel panama, 2008




Dalam Sakit I

Di kaca jendela maut memelototkan matanya
hendak menyalak di ujung ranjangku
kusendengkan letih tubuh ini
pada sisa bejana darahku

Kuhitung pundi-pundi jantungku
cukupkah buat membayar tunai
remah-remah masa silamku?

Kutegak hangat tuak rahimmu
sebelum malam benar-benar pekat
saat jubah maut berkelebat.

Andai boleh bernapas lagi di bibirmu
akan kuhirup wangi jantung mudamu.

Bengkel panama, 2008




Sia-sia

Di matanya, temaram senja membingkai harapan
jejak tapak kaki menghela kegugupan.
Langkah merekah rumput mati menanti
langit meneteskan jawaban.

Ia punguti keping jemari compang-camping
hati pengemis yang mengais
lungsuran masa silam yang lusuh
bibirnya tak putus berkeluh tanpa mengaduh.

Basa basi telah usai, tak ada lagu yang bisa dimainkan.
Hanya tatapan canggung sepasang mata
menyembul dari lumpur nanah kesia-siaan.
Batu jiwanya menganga saksikan kepergian bianglala tua
musim murung menidurkan cahaya.

Jembatan hatinya sudah digusur
tembok harapan runtuh tak menyisakan
sekeping pintu atau jendela buat menekur

Ia masuki kamar kosong kelabu dan dingin
mengusir dendam dan kebencian
membiarkan jiwanya terjebak
dalam lingkaran cemooh yang kabur

Bengkel panama, 2008



Malam Ini Kudengar

Malam ini kudengar tanah begitu riuh
menangkap suara hujan.
Pohon-pohon tegak tengadah
bunga-bunga membuka kelopaknya.

Angin berpelukan dalam gelap
menarikan kamasutra
“aku ingin terus berpesta”’ katanya.
Sementara di balik tabir mimpi
dewa langit mengibarkan selendang pagi.

Bengkel panama, 2008


Jejak

Di rahimku tersisa seonggok puisi
dan dua tapak kaki.
Malam itu aku bermimpi
puisi itu bertanya siapa bapanya?
Ketika pagi tiba, di sampingku
ada lukisan dua tapak kaki.
Kubasuh ia dengan air bunga tujuh rupa
kuuapi dengan wangi kemenyan,
dupa, dan cendana
namun jejaknya masih tersisa
lama sekali.

Bengkel panama, 2008


Kencan

Sore ini kan kutemui engkau
di simpang empat jalan itu.
Kita sudah janjian,
aku yakin, engkau selalu tepat waktu.

Kukenakan baju bersulam paling indah
sambil menatap cermin kusam.
Kuserukan bahana paling megah
derita abadi hampir tenggelam.

Sayang,
aku lupa memakai sepatu
buat menampung luka darahmu.
Juga cadar dan kerudungku
buat sembunyikan nyeri tubuhmu.

Aku tahu engkau sudah menunggu
sedang aku masih asyik dengan kehampaanku.

Bengkel Panama, 2008


Angin Berbisik di Tepi Telaga

Angin berbisik di tepi telaga
katanya, ada badai di sana
aku tetap menyeberang

Biar air kelu membasuh tubuhku
sehitam jelaga
sesudah kukunyah dosa

Angin yang setia
meninabobokan perahuku
sendirian, tanpa penumpang

Bengkel Panama, 2008


Di Ruang Tunggu

Di ruang kecil ini aku
bercanda dengan waktu
Kubuka jendela
hari sudah senja
Perahuku masih bersandar
di tepi telaga
Aku seperti berada di ruang tunggu
menanti seseorang memanggil namaku

Bengkel Panama, 2008


Isyarat

Pohon yang meranggas di musim kemarau
seperti perempuan tua yang mengeringkan rambut putihnya
gemetar mendengar langkah tersamar
Geletar musim menangkap senja, mengejar fajar

Sebuah bayang memantul di air menggenang
menangkap kilat berwarna pucat
mengirimkan seribu isyarat berupa kata-kata
yang tak dapat dibaca

Saatnya melepaskan baju zirah, seusai ziarah
demi membebaskan jiwa dari penjara
hidup yang tak menyisakan pilihan
saat maut mendengus dalam kegelapan

Bengkel Panama, 2008


Cemara

Cemara tua letih menggapai langit
tertegun, membeku di ujung senja
Sempoyongan rerantingnya
tak kuasa menahan daun-daun
tinggal lebih lama di tempatnya

Senyap mengendap
dunia orang mati menciutkan nyali
Matahari telanjang bergegas pergi
mencuri harapan seujung jari

Sepasang mata menatap dingin
tubuh letih diterjang angin
Udara membatu tanpa suara
menunggu sang waktu menikam jantungnya

Bengkel Panama, 2008



Dalam Sakit II

Maut mengendus-endus lagi malam ini
bagai serigala lapar menatapku nanar.
Lidahnya menjilati tiang-tiang ranjangku
air liurnya menetes memelintir nyaliku.

Dengan tubuh terbujur beku
kutatap wajah maut serupa hantu.
Tiba-tiba ia mencumbuku,
menghisap darahku, menelusuri urat nadiku,
dan menghujaniku dengan ciuman
yang teramat menyakitkan.

Melewati pergumulan panjang semalam,
menjelang dini hari kulihat maut kelelahan.
Tiba-tiba ia ngeloyor pergi sambil berpamitan,
“Aku akan kembali kapan-kapan.”

Bengkel Panama, 2008